PENDAHULUAN
Suku Biak
Suku Biak merupakan salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup di kabupaten Biak-Numfor. Dalam kesehariannya suku Biak menggunakan bahasa Indonesia dengan banyak dialek yang tersebar di 19 wilayah. Namun, secara prinsip, dialek-dialek yang berbeda itu tidak menghalangi mereka untuk saling mengerti satu sama lain. Suku Biak merupakan suku perantau sejak dahulu. Daerah penyebaran suku Biak sangatlah luas, meliputi pulau Biak, Supiori, Numfor, Padaido, Rani, Insumbabi, Meosbefandi, Doreri, Manokwari, Oransbari, hingga ke Sorong dan pulau-pulau di Raja Ampat.
Orang Biak sejak dahulu menyembah dewa persatuan dan pujaan mereka, yaitu ‘Manarmakeri’. Manarmakeri merupakan suatu panggilan penghinaan untuk orang tua yang bertubuh kudis, borok, dan kotor yang menyebabkan banyak orang jijik kepadanya. Namun Manarmakeri selalu membuat tanda-tanda ajaib seperti menggantikan kulitnya yang berkudis dan borok itu menjadi makanan dan harta kekayaan yang berlimpah. Ia dipuja sebagai juruselamat. Orang Biak sebagian besar telah menganut agama Kristen, tetapi masih banyak memiliki kepercayaan terhadap para roh, yaitu suatu kepercayaan yaang telah terbentuk dari nenek moyang mereka. Mereka percaya akan adanya penguasa yang melebihi kekuatan atau kekuasaaan manusia biasa yang menurut mereka penguasa tersebut mendiami Nanggi (surga) yang berada di Mandep (langit). Selain itu, mereka percaya akan adanya penguasa-penguasa yang mendiami Farsyos (Jagad raya) dan ada juga yang menghuni abyab (gua), karui beba (batu besar), bon bekaki (gunung tinggi), soren (dasar laut), war besyab (sungai), ai beba (pohon besar), dan lain-lainnya.
Penguasa yang mendiami Nanggi merupakan pusat kekuatan atau kekuasaan yang mengatur alam semesta. Penguasa Nanggi (Sang Langit) dikenal dengan sebutan Manggundi (Dia sendiri) . Penguasa-penguasa yang mendiami Farsyos, abyab, karui beba (batu besar), bon bekaki, dan lain-lainnya yang disebutkan di atas adalah bersifat roh (spirit). Roh-roh ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
Roh-roh/arwah-arwah nenek moyang dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia yang dikenal dengan istilah bahasa Biak yaitu Karwar. Karwar ini mendiami Farsyos (jagad raya), sup/meos aibui (wilayah/tempat atau pulau yang merupakan tempat berkumpulnya arwah-arwah itu) dan juga Amfyanir. Selain itu, roh-roh itu mendiami wilayah-wilayah yang tidak ada penghuninya (sup bebewursba), seperti lautan luas atau hutan-hutan belan-tara.
Kedua, roh-roh halus jin. Roh-roh ini dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) roh-roh halus/jin yang mendiami pohon-pohon besar yang dalam istilah bahasa Biak disebut Arbur; (b) roh-roh halus/jin yang mendiami gua, gunung, batu, hutan rimba, sungai disebut dabyor; dan roh-roh halus /jin yang mendiami laut atau lautan disebut Faknik.
Hal ini menunjukkan bahwa orang Biak percaya adanya makhluk supranatural. Agama tradisional mereka mempunyai hubungan erat dengan mitologi mereka. Tokoh mitologi mereka, yaitu Manarmakeri yang telah pergi ke sebelah barat karena ditolak oleh orang Biak , dan ia akan datang kembali untuk memberikan kebahagian atau kekayaan bagi mereka yang telah lama ditinggalkan. Mereka percaya bahwa Manggundi yang menjelma sebagai manusia biasa, yaitu Manarmakeri yang pernah melakukan karya Koreri di Meokbundi (salah satu pulau di Biak Timur). Ia tidak diterima oleh masyarakatnya (Orang Biak), sehingga ia pergi ke bagian barat yaitu Eropa, dan Ia akan kembali kepada mereka dengan membawa kembali koreri, yaitu dunia Kando Mob Oser, artinya dunia yang tidak ada kesusahan lagi/dunia bahagia.
Upacara Tradisional Suku Biak
Upacara tradisional Biak atau pesta adat Biak disebut Wor atau Munara, yang dilaksanakan untuk melindungi seorang individu yang beralih peran dari satu peran sosial sebelumnya ke peran sosial berikutnya. Orang-orang tua Biak mengatakan:
“Sinan ngobansi si wor be ngo insa ngo bye, ngo kada ngak-wor wer faro mgun ngobesi insa si bye: ngo wor ba ido neri ngo mar”, yang artinya:
“Nenek-moyang kami telah mengadakan upacara-upacara (wor) itu bagi kami agar kami dapat hidup selamat, dan kini kami mengadakan wor itu untuk anak-anak kami, agar mereka memperoleh kesejahteraan, karena tanpa upacara-upacara (wor) kami akan mati. Dengan kesimpulan ini, sudah diperlihatkan betapa pentingnya perayaannya itu. Dengan demikian, maka dalam segala aspek kehidupan sosial suku Biak selalu diwarnai dengan upacara adat. Upacara besar suku Biak ada 28 jenis upacara, dari upacara kehidupan sehari-hari, upacara siklus kehidupan, upacara kepada Penguasa (Manggundi), dan upacara-upacara lainnya. Salah satunya adalah upacara Seraki.
Dalam Wor, telah terbukti bahwa budaya Biak memiliki unsur kesenian yang tinggi seperti seni musik, yang di dalamnya terdapat berbagai macam alat musik seperti tifa dan juga nyanyian-nyanyian yang di dalam Wor ada kurang lebih 18 nyanyian Wor dengan nada pentatonik (6 tangga nada); juga seni ukir yang terdapat pada rumah-rumah atau alat-alat rumah, bahkan dibuat pada tubuh manusia ketika hendak melaksanakan upacara adat; kemudian ada seni kerajinan tangan seperti hiasan dari kulit kerang; ada juga seni tari yang selalu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, terkhusus dalam upacara-upacara. Selain itu, Wor merupakan unsur penting dalam agama tradisonal mereka. Dengan demikian mempunyai sifat religius cukup tinggi dan penting. Dikatakan sangat penting karena Wor mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas orang Biak dan merupakan simbol hubungan mereka dengan Penguasa (Manggundi) dan kerabat-kerabat mereka yang meninggal (arwah-arwah nenek moyang). Ketika mereka tidak melakukan Wor, maka mereka akan mendapat sanksi dari Manggundi atau arwah-arwah nenek moyang mereka.
PEMBAHASAN
Seraki (Penguburan atau pemakaman di tepi karang)
Sebelum melakukan penguburan di tepi karang, terlebih dahulu akan diadakan upacara adat di rumah orang yang meninggal atau di rumah keluarganya, yang dipimpin oleh Mon (dukun/imam adat). Pada upacara ini ada beberapa nyanyian ratapan dilagukan untuk yang meninggal. Kemudian Mon akan berdoa kepada Penguasa (Manggundi) supaya roh yang meninggal (karwar) selalu menjalin hubungan yang baik dengan semua masyarakat, terkhususnya dengan keluarga yang ditinggal.
Setelah upacara di rumah, mayat akan diarak ke tepi karang untuk dimakamkan di sana. Pada waktu mayat diarak, si duda/janda atau keluarga dari yang telah meninggal akan berjalan langsung di belakang mayat, dan sesudah itu barulah menyusul orang-orang lain. Dalam meletakkan mayat di bawah tepi karang, orang harus memperhitungkan arah matahari terbit dan terbenam yang disebabkan oleh pasang air pada jaman dahulu ketika laut lebih tinggi daripada sekarang. Artinya, dikatakan orang: Kepala harus diarahkan ke jurusan terbenamnya matahari, jadi harus diarahkan ke barat. Oleh karena mayat itu terbaring telentang, maka pada masa keselamatan ia akan hidup lagi, duduk tegak dan melihat terbitnya matahari, atau: Karena matahari yang sedang terbit itu, maka si mati jadi bangkit. Dua bilah papan kecil akan ditancapkan ke dalam tanah, satu di ujung bagian kaki dan yang lain di ujung bagian kepala: itulah dayung, alat pengayuh untuk si mati saat Manarmakeri datang membawa koreri.
Dahulu sering terjadi bahwa di tempat pemakaman si duda mencukur gundul rambutnya, kemudian rambut itu ditinggalkan di kuburan, di atas karang atau di dalam gua. Di situ juga ia mandi dengan "war-merbak" atau "air berat"; yang dimaksud di sini adalah: air yang berisi hal-hal yang berat, perkabungan itu. Kemudian duda atau janda itu wajib mengenakan kapyopes (cawat). Sekembalinya di rumah, orang yang telah ditinggalkan itu (duda/janda) harus berjalan pelan-pelan, berbicara lembut, karena ia telah kena perkabungan. Kalau yang ditinggal itu berjalan atau berbicara dengan seenaknya saja, maka penduduk kampung, apalagi orang-orang yang serumah dengan orang yang ditinggal itu, menanggung risiko akan jatuh sakit. Orang yang ditinggal itu harus terus berbuat demikian selama berlangsungnya perkabungan.
KESIMPULAN
Pandangan Teologis
Dalam hal kepercayaan kepada Manggundi, suku Biak sebenarnya telah melakukan apa yang diimani iman Kristen, di mana Allah dipercaya sebagai satu-satunnya Allah dan tidak ada lain yang sama seperti Dia. Namun yang masih harus dipikirkan kembali adalah kepercayaan suku Biak terhadap roh-roh nenek moyang mereka yang dapat membawa ketenagan dan hidup yang tenteram di dunia. Hal ini bertentangan dengan iman Kristen yang memandang bahwa satu-satunya pengaharapan, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di surge adalah oleh Allah yang menciptakan langit dan bumi, atau dari perspektif suku Biak, hanya Manggundi yang dapat memberikan keselamatan, bukan karwar atau roh-roh halus lainnya.
Tidak sepenuhnya kepercayaan suku Biak dapat ditolak karena di dalamnya masih dapat diperhitungkan unnsur-unsur yang sangat teologis. Jika kita cermati kisah dari tokoh besar masyarakat Biak ini, ada persamaan dengan tokoh utama umat Kristen, yaitu Yesus Kristus, yang adalah inkarnasi Allah. Yesus datang ke dunia tetapi Ia ditolak dan disalibkan. Namun umat Kristen percaya bahwa Yesus akan datang kembali ke dunia ini dengan kemuliaan-Nya dan membawa kebahagiaan atau kehidupan yang kekal. Terbukti bahwa suku Biak memiliki kepercayaan yang sangat religius dan teologis, di mana mereka mempercayai adanya kekuatan di luar batas kekuatan manusia dan salah satunya adalah kekuatan dari langit (Yang Tertingi) yang dapat mengalahkan kekuatan-kekuatan atau roh-roh lainnya di dunia. Dalam proses Seraki pun, secara iman Kristen, hal ini sangat teologis di mana umat Kristen pun percaya akan hari kebangkitan di mana semua orang yang telah mati akan dibangkitkan dan bersama-sama berproses menuju keselamatan yang abadi. Dalam tradisi suku Biak, hal ini lebih diwarnai dengan indah karena pada proses pemakamannya ditandai dengan posisi mayat yang diarahkan bagian kepala ke arah barat dan bagian kaki ke arah timur. Dari sinilah pada saat kebangkitan (Manarmakeri datang membawa Koreri) yang di analogikan dengan indah sebagai saat terbitnya matahari maka semua orang akan dibangkitkan kembali.
Melalui budaya ini, gereja dalam misinya memberitakan kabar sukacita kepada semua orang, akan lebih mudah dilakukan kepada masyarakat suku Biak. Gereja dapat mengambil langkah/metode Sintetik, di mana Kristus dipandang sebagai penggenapan kebudayaan. Dalam hal ini ada banyak hal yang bisa diambil dari budaya orang Biak, seperti tokoh Manarmakeri yang kisahnya sama seperti tokoh Yesus Kristus, kemudian prosesi pemakaman di tepi karang yang mempercayai adanya kebangkitan nanti, sama seperti iman Kristen yang mempercayai akan adanya kebangkitan pada akhir zaman.
Pada akhirnya kita harus sadar bahwa injil dan kebudayaan berada dalam realitas plural yang sangat turut menentukan dan membentuk kehidupan manusia. Ini yang mesti diperhitungkan dalam bentuk pemberitaan injil, sebab unsur-unsur kultural dalam berbagai tradisi, agama, kebudayaan dan ideology tidak bebas dari tindakan Allah dalam sejarah manusia. Oleh karena itu injil juga ada dalam hubungan dialogis dengan kebudayaan. Injil tidak adda di luar kehidupan manusia, tetapi ia “ada di antara kamu” dan muncul ke permukaan ketika simpul-simpul kehidupan terbuka karena disentuh oleh nilai-nilai keadilan, kebenaran, kedamaian, kebaikan dan kasih.
Referensi
App, Lamekh, dkk., Budaya Masyarakat Suku Bangsa Biak di Kabupaten Biak Numfor, Jayapura: Departemen Kebudayaan dan Pariwasata, BPSNT, 2005.
Sokoy Freddy, Hapsari Windy, Identifikasi dan Kajian Organisasi Sosial di Biak Timur, Biak: Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film, 2007.
Kamma, C. F, AJaib di mata kita: Seri I, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981.
Google Search: Upacara Seraki suku Biak.