Rabu, 16 November 2016

Kajian Teks Yoel 2:12-17

I.       TERJEMAHAN TEKS (YOEL 2:12-17)
Seruan untuk bertobat
12  “Tetapi sekarang juga,” demikianlah firman TUHAN,
“berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu,
dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.”
13              Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu,
                        berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu,
                                    sebab ia pengasih dan penyayang,
                        panjang sabar dan berlimpah kasih setia,
                                    dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.
14  Siapa tahu mungkin Ia mau berbalik dan menyesal,
                  dan ditinggalkan-Nya berkat,
      Menjadi korban sajian dan korban curahan
                  Bagi TUHAN, Allahmu.
15  Tiuplah sangkakala di Sion,
                  adakanlah puasa yang kudus, maklumkanlah perkumpulan raya;
16  kumpulkanlah bangsa ini,
                  kuduskanlah jemaah,
      himpunkanlah orang-orang yang tua,
                  kumpulkanlah anak-anak, bahkan anak-anak yang menyusu;
      baiklah penganten laki-laki keluar dari kamarnya,
                  dan penganten perempuan dari kamar tidurnya;
17  baiklah para imam, pelayan-pelayan TUHAN,
                  Menangis di antara balai depan dan mezbah,
      dan berkata: “Sayangilah, ya TUHAN, umat-Mu,
dan janganlah biarkan milik-Mu sendiri menjadi cela, sehingga bangsa-bangsa menyindir kepada mereka.
                        Mengapa orang berkata di antara bangsa:
                                    Di mana Allah mereka?”
            Teks yang sama, terkhususnya pada ayat ke 13, yang terdapat di pada alkitab Revised Standard Version berbunyi:
                    13             …and rend your hearts and not your garments.”
                        Return to the LORD, your God,
                                    for he is gracious and merciful,
                        slow to anger, and abounding in steadfast love,
                                    and repents of evil.

II.    PENDEKATAN
1.      Prasangka dan Prapaham
A.    Prasangka
Yoel menjelaskan lagi bahwa inti pertobatan tidaklah terletak di dalam upacara lahiriah dan kebiasaan, melainkan di dalam pertobatan hati (13a). Untuk menandakan kedukaan (perkabungan), kebiasaannya ialah untuk merobek atau mengoyakkan pakaian. Bukanlah seluruh pakaian dikoyak, tetapi sebagian kecil saja, supaya nyata keadaan dukacita orang yang berduka ini. Kecenderungan yang terlihat dalam kebiasaan ini menuju kepada perbuatan pura-pura atau kepada suatu pertunjukan tanpa arti yang sungguh-sungguh. Menurut Yoel, kebiasaan untuk merobek pakaian adalah sia-sia saja, jikalau hal itu tidak mencerminkan kehendak hati batin (Mzm 51:19).
Kata pengasih mengandung sifat anugerah, yaitu kasih yang diberikan oleh orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah dengan cuma-Cuma. Di dalam kata penyayang terdapat unsur rahmat seperti seorang bapak atau ibu memelihara anak-anaknya, yang tiap-tiap saat memerlukan bantuan. Panjang sabar berarti secara harafiah: memperpanjang nafas atau memperpanjang murka di dalam pengertian menahan murka. Melihat dosa-dosa manusia, Allah tidak cepat menjadi marah sehingga sifat-Nya dapat disebut panjang sabar. Kasih setia hanya dapat diartikan dari latar belakang perjanjian. Di dalam perjanjian ada dua pihak, yaitu Allah dan manusia. Dari pihak Allah di dalam perjanjian ini diharapkan kasih setia.
Istilah yang dapat kita lihat dari sisi manusia (bahasa anthromorf) terdapat di dalam kalimat “…dan Ia menyesal karena hukuman-Nya”. Penyesalan Tuhan Allah ditemukan di beberapa tempat di dalam alkitab (2 Sam 24:16; Yer 18:7, 26:3, 42:10; Amos 7:3, 6). Dengan membaca istilah ini kita selalu harus mengingat bahwa Allah diperkenalkan sebagai manusia. Inti pemikirannya bukanlah bahwa Allah seperti manusia yang bergoyang hati dan menyesali suatu keputusan yang telah diambilnya. Jikalau memang seperti begitu, maka Allah tidak dapat dipercaya.
Ungkapan penyesalan Tuhan hendak menyatakan bahwa akhir-akhirnya manusia dapat berseru kepada Tuhan, supaya celaka itu atau yang jahat itu dapat dipalingkan-Nya. “Menyesal” yang menunjuk kepada suatu sifat Allah, hanya dapat dimengerti di dalam suasana rahmat dan kasih setia. Penyesalan Tuhan Allah tidaklah dilakukan-Nya, karena hukuman atau malapetaka yang mengancam Israel adalah terlalu berat dan hebat, melainkan karena pertobatan, dan pertobatan ini hanya dapat diadakan berdasarkan pengetahuan tentang Allah yang menyatakan diri-Nya melalui sifat-sifatNya. Hal ini dapat kita lihat dalam alkitab, yaitu kalimat “Ia menyesal karena hukuman-Nya”, ditunjukkan dalam kalimat yang berbeda pada Revised Standard Version, yaitu “and repents of evil”, yang berarti penyesalan atas kejahatan. Kata kejahatan yang dimaksudkan di sini adalah kejahatan yang dilakukan oleh manusia.
B.     Prapaham
Penulis memilih teks ini, yaitu Yoel 2:12-17, karena ingin mengetahui bagaimana peringatan-peringatan yang diberikan para nabi kepada bangsa Israel untuk bertobat dan berbalik kepada Allah, terkhususnya dalam kitab ini yaitu seruan nabi Yoel kepada umat Israel untuk bertobat sebelum datangnya hari Tuhan, yaitu hukuman yang berat terhadap bangsa Israel yang berujung pada masa pembuangan di Babel. Selain menyerukan pertobatan dengan memberikan gambaran akan betapa dahsyatnya hukuman dan peperangan yang akan mereka alami, nabi Yoel juga memberikan cara-cara pertobatan kepada dan bagi mereka yang bertobat kepada akan diselamatkan dari murka Allah yang sangat dahsyat, juga janji Allah untuk memberkati umat-Nya dan memulihkan kemakmuran-Nya
Dari teks ini, penulis juga ingin mengetahui mengapa seruan pertobatan yang dilantunkan nabi Yoel kepada umat Israel begitu keras dan begitu ekstrim dalam pandangan penulis, serta menggunakan beberapa kalimat pengandaian yang seolah-olah menebak sifat Allah kepada manusia ketika manusia melakukan dosa dan ketika manusia telah bertobat.
Dalam pandangan penulis, seruan yang keras ini dilantunkan nabi Yoel karena sifat bangsa Israel yang tidak teguh hidupnya kepada Tuhan agar bangsa Israel bertobat dengan segala macam cara atau tradisi pertobatan yang ada pada saat itu.
2.      Akulturasi & Inkulturasi
Bagian pertama, yaitu pendahuluan dari kitab Yoel memuat pendahuluan nubuat adalah panggilan yang harus mengajak umat itu untuk mendengarkan cerita selanjutnya. Rumusan ini menuju kepada cara yang biasa dipakai oleh pengajar hikmat atau seorang pengkhotbah (Bnd. Mzm 78:1-4; Ayub 34:2; Hos 5:1). Yoel bermaksud untuk menarik perhatian, karena itu ia mempergunakan suatu cara pengajaran yang biasa digunakan di Israel.
Pemakaian sangkakala, baik yang berhubungan dengan perang maupun yang berhubungan dengan kultus, dapat dikatakan bahwa meniup sangkakala menunjukkan kedatangan Tuhan atau kehadiran Tuhan. Sama juga halnya bilamana sangkakala ditiup untuk memberikan tanda bahwa bahaya mendekat kepada suatu negeri atau kota, dan secara khusus berhubungan dengan hari Tuhan. Seruan ini dibunyikan supaya penduduk siap siaga.
Pengoyakan pakaian. Pada zaman alkitab, untuk membuka atau merobek pakaian di depan umum merupakan sebuah tanda, entah perkabungan atau keputusasaan; contohnya: “Dan berkatalah Daud kepada Yoab dan kepada segala rakyat yang bersama-sama dengan dia: ‘koyakkanlah pakaianmu dan lilitkanlah pada tubuhmu kain kabung dan merataplah di depan mayat Abner’.” (2 Samuel 3:31; Yer 41:5).
Puasa. Berpuasa dalam Perjanjian Lama dilakukan pada saat-saat meratap, penyesalan, ataupun kebutuhan rohani yang mendalam.
      Semua kebiasaan-kebiasaan dan tradisi Israel dalam teks ini merupakan budaya atau tradisi dari daerah Timur Tengah Kuno, yang dalam konteksnya manusia hidup dalam keadaan yang sulit, dalam hal ini setiap suku bangsa saling berjuang mempertahankan ras dan bangsanya dengan cara apapun. Kemudian harus diingat bahwa masyarakat yang hidup di daerah Timur Tengah kuno secara umum adalah masyarakat nomaden (berpindah-pindah), sehingga untuk berpindah ke suatu tempat mereka harus memperebutkan tempat tersebut, meskipun dengan jalan perang. Dari sinilah sering terjadi pertukaran, percampuran, dan inkulturasi tiap-tiap budaya dari masing-masing suku. Pada teks ini, contohnya seperti hal meniup sangkakala, mengoyakkan pakaian ketika berduka/berkabung, dan berpuasa. Dapat dikatakan bahwa bangsa Israel mengadopsi tradisi-tradisi tersebut dari suku/bangsa yang pernah ditemui mereka.[1]

3.      Kritik Historis
a.       Penempatan kitab Yoel dan tahun pengarangan
Kitab Yoel termasuk kitab keduabelas nabi-nabi besar. Pada umumnya kitab Yoel digolongkan kepada kelompok nabi-nabi tertua berdasarkan. Titik tolak pemikiran penulis ialah bahwa urutan kitab-kitab nabi kecil disusun secara kronologis. Maksudnya ialah bahwa kitab-kitab, yang pendahuluannya memuat keterangan-keterangan tentang waktunya, diatur secara kronologis, seperti Hosea, Amos, Mikha, Zefanya, Hagai dan Zakaria. Tetapi mengenai kitab-kitab lain yang tidak mendapat keterangan waktu di dalam pendahuluan, alasan untuk tempatnya di dalam kanon tidak jelas.
Penulis berpendapat bahwa kitab Yoel dikarang sebelum masa pembuangan dengan alasan kitab ini ditempatkan diantara kitab Hosea dan Mikha yang bernubuat sebelum pembuangan, dalam hal ini penulis lebih memperhatikan “isi” kitab Yoel daripada “tanggalnya”, karena isi kitab Yoel yaitu pemberitahuan tentang hari Tuhan”. Juga dengan alasan bahwa (1) tidak terdapat kiasan terhadap Siria, Asyur, dan orang Babel pada satu pihak, dan rujukan kepada Mesir dan Edom pada lain pihak; (2) tidak ada rujukan kepada raja, sementara tua-tua dan imam-imam merupakan pemimpin-pemimpin utama pada saat itu; (3) posisi imam-imam diakui pada saat tahun-tahun awal pemerintahan Yoas, ketika imam Yoyada menjadi walinya (II Raja-raja 11:21-12:23).
b.      Nabi Yoel
Nama Yoel berarti: “Tuhan (=Yahweh) adalah Allah”. Seperti banyak nama di dalam alkitab, di dalamnya tercantum suatu pengakuan. Orang yang bernama “Tuhan adalah Allah” itu harus membenarkan pengakuan ini di dalam kehidupannya. Di dalam nubuat Yoel, arti nama ini merupakan dasar pemberitahuannya (2:27; 3:17). Pada pendahuluan kitab Yoel, disebutkan bahwa Yoel adalah anak Petuel (1:1), yang berasal dari Yehuda. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang dapat disimpulkan dari banyaknya rujukan kepada Sion (2:1, 15, 23; 3:17) dan kepada Yehuda serta Yerusalem (2:32; 3:1, 6, 8, 17-20).[2]
c.       Sastra kitab Yoel
Kitab ini ditulis dalam bentuk puisi Ibrani dengan kiasan yang penuh nilai seni dan hasil pemikiran yang dituangkan dalam perbandingan dan kiasan-kiasan puitis. Pola emosional dan kerusakan yang luar biasa dari suatu negeri yang dibuat gundul oleh tulah belalang tidak membutakan pikiran penulis yang artistic terhadap detail-detail kerusakan dan para perusaknya. Mata puitisnya beralih dari keadaan para pemabuk yang agak lucu dan terhuyung-huyung, yang sekarang telah kehilangan minuman keras mereka yang memabukkan (1:7, 13), kepada penghentian kurban sajian dan kurban curahan yang lebih serius di Bait Allah (1:9). Pandangannya jatuh kepada wajah-wajah yang penuh kesedihan dari orang-orang yang menyaksikan serangan belalang (2:6) dan ternak yang berkeliaran tanpa tujuan yang telah kehilangan gandum makanannya karena tidak ada lagi padang rumput (1:18). Pohon-pohon ara gundul dengan dahan-dahannya yang putih menarik pandangannya (1:7), dan gudang-gudang serta lumbung-lumbung yang kosong berdiri di seluruh negeri (1:17).
Metafora (kiasan) Yoel secara hati-hati dan dengan mewah dihiasi oleh kemampuannya yang deskriptif. Belalang-belalang tersebut adalah suatu bangsa yang menyerbu, “kuat dan tidak terbilang banyaknya.” Mereka mempunyai “gigi bagaikan gigi singa” dan “taringnya bagaikan taring singa betina” (1:6). Ia mengembangkan kiasan perang ini di pasal 2, menggambarkan belalang bagaikan kuda, gerakan mereka bagaikan larinya pasukan berkuda (2:4), suaranya seperti gemuruhnya kereta perang, seperti geletiknya nyala api yang memakan habis jerami (2:5). Belalang itu seperti pahlawan perang, dan seperti prajurit mereka naik tembok (2:7-9). Penghukuman yang akan datang ialah penuaian dan tempat pemeres buah anggur, sementara secara harafiah orang banyak berkumpul di lembah Yosafat pada hari yang gelap itu, tanpa cahaya matahari, bulan dan bintang-bintang, karena saat penentuan yang mengerikan itu (3:14-15).


III.    RELEVANSI TEOLOGIS
Nabi Yoel menyerukan hal pertobatan dengan keras kepada umat Israel agar bertobat sebelum hari Tuhan yang akan menjadi malapetaka bagi mereka yang belum bertobat dan masih melakukan kejahatan. Seruan pertobatan ini bahkan lebih mendalami dan mengkritisi kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan Israel kuno seperti puasa dan prosesi pengoyakan pakaian sebagai tanda berkabung atau peratapan yang sangat mendalam. Yoel menganjurkan cara pertobatan yang lebih keras sebagai bukti bahwa umat benar-benar bertobat dengan kalimat “koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu”. Artinya sebuah pertobatan itu haruslah dengan sungguh-sungguh dari dalam hati batin, melalui sadar akan perbuatan-perbuatan yang selama ini salah di mata Tuhan. Ketika hanya mengoyakan pakaian saja, hal itu tidaklah cukup karena perbuatan luar dapat menipu tetapi ketika dari hati, itulah yang akan muncul keluar melalui perbuatan, artinya segala tingkah laku akan benar-benar bertobat dan berbalik kepada Allah.
Dalam kehidupan saat ini juga kebanyakan manusia yang bertobat, atau lebih khususnya lagi berbuat kebaikan hanya sebatas formalitas saja dan untuk mencari nama di depan banyak orang agar dapat dipuji, seperti dalam hal memberi kolekte dengan jumlah uang yang banyak pada persembahan di gereja atau melalui pengucapan syukur dengan jumlah uang jutaan rupiah karena pemberian mereka akan terpampang pada lampiran warta jemaat. Dengan begitu, banyak orang akan melihat apa yang perbuatan mereka dan secara otomatis mereka akan dipandang sebagai orang yang suka memberi. Namun dalam kenyataan sehari-hari seperti kegiatan-kegiatan di gereja mereka jarang aktif dan berpartisipasi sehingga kebersamaan di dalam Tuhan melalui persekutuan semakin pudar.
Kita selaku umat Kristen yang telah ditebus oleh Yesus Kristus di kayu salib seharusnya dapat menunjukkan sikap kita yang baik, tidak perlu mengikuti tradisi seperti pada kehidupan orang Israel, tetapi Yesus telah menyempurnakan semua kebiasaan, ajaran, dan hukum-hukum tersebut menjadi hukum terbesar yang telah kita kenal, yaitu hukum kasih. Dengan mengasihi Allah dan kemudian mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri, kita telah hidup menurut perintah Yesus Kristus.














Daftar Pustaka
1.      Bullock, Hassel. 2009. Kitab Nabi-nabi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas.
2.      King, Philip J. dan Stager, Lawrence. 2010. Life In Biblical Israel. Jakarta: BPK GM.
3.      Drs. Pilon, P. K. 1974. Tafsiran YOEL. Jakarta: BPK GM.
4.      The Holy Bible Revised Standard Version
5.      Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Sehari-hari (LAI)
6.      Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru (LAI)




[1] Philip J. King dkk, Life In Biblical Israel (Jakarta: BPK GM, 2010), hal 34-39.
 [2] Hassel Bullock, Kitab Nabi-nabi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2009), hal 44-45.

Kamis, 29 September 2016

KHOTBAH (LUKAS 9:46-48)


Saudari/I yg terkasih dlm Kristus,
Kita mungkin sudah sering membaca dan mendengarkan kisah ini, baik pada masa sekolah minggu dulu, maupun pada khotbah-khotbah. Jika kita membaca teks ini, secara langsung kita berpikir bahwa pembacaan ini berbicara mengenai jabatan atau status. Berbicara tentang jabatan, dari dulu sampai sekarang manusia selalu memperebutkan jabatan (raja, presiden, gubernur, anggota DPR, dll). Dalam hal memperebutkan jabatan, tidak jarang orang saling menjatuhkan, saling fitnah dan bisa berujung pertengkaran. Bukan hanya jabatan suatu struktur tetapi juga status dalam lingkup masyarakat (contoh orang yang ingin dipandang dalam suatu kelompok masyarakat). Jabatan bukan berarti sesuatu yang jahat atau buruk. Hanya saja proses memperoleh jabatan atau status atau martabat itu yang perlu dilihat, apa caranya baik atau tidak baik. Di dalam pembacaan kita, Yesus  menjelaskan tentang bagaimana sikap pengikut Yesus yang seharusnya. Mari kita lihat bersama-sama.

Sdara/I yang terkasih dalam Kristus,
Pengajaran Yesus dimulai ketika ada pertengkaran di antara para murid mengenai status mereka, siapa yang terbesar. Mengapa para murid berpikir demikian? (*) dalam pembacaan sebelumnya, bisa kita lihat bahwa murid-murid Yesus masih belum juga mengerti tentang jabatan Yesus ketika berada di dunia ini. Mereka masih dipengaruhi pemikiran bangsa Israel dari dulu, bahwa Mesias yang akan datang itu sebagai Raja yang besar dan semua pemerintahan akan tunduk kepadaNya. Namun jabatan itu dipandang sebagai jabatan seorang raja atau Mesias di dunia saja. Hal ini diketahui oleh Yesus sehingga Ia mengambil seorang anak dan menempatkannya berdiri di sampingNya. Mengapa Yesus mengambil contoh seorang anak?
(1) Seorang anak bukan saja  karena sifatnya yang polos, jujur dan tulus, tetapi seorang anak memiliki sifat ketergantungan kepada orang dewasa (tua). Mereka jarang mengandalkan kemampuan mereka sendiri. Seorang anak (paidion = anak kecil/anak-anak, bukan teknon = anak pada umumnya) pasti menaruh kepercayaan pada orang tua yang mendidik dan membesarkannya. Anak kecil akan selalu meniru, menuruti dan melakukan apa yang disuruh oleh orang yang lebih tua.
(2) Terkait dengan tujuan penulisan kitab Lukas, yaitu keselamatan Allah ditujukan bukan hanya kepada orang Yahudi, tetapi kepada semua orang, dengan penekanan orang yang sakit, orang miskin serta orang yang dianggap rendah di dalam masyarakat. Dengan demikian, Yesus memilih seorang anak kecil untuk mengajar, sekaligus mengangkat martabat orang yang tidak memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial (contoh Yusuf dan Daud = yang masih muda dianggap rendah). Bayangkan para murid berdebat tentang status mereka (dalam situasi itu, mungkin gambarannya mereka adalah calon-calon kandidat wakil dari guru mereka ya), kemudian yang dijadikan teladan adalah hanya seorang anak, yang tidak dianggap, bukan calon kandidat dari para murid. Ini suatu kejutan bagi mereka
Kemudian, yang menjadi penekanan dalam pembacaan kita, sdara/I, ayat 48 (dibacakan)…. Pengajaran ini dimaksudkan kepada murid-murid Yesus untuk datang mencari dan menyambut orang yang dianggap belum bisa apa-apa, orang yang tidak dianggap dalam masyarakat. Itu sikap hidup pengikut Kristus, melayani mereka yang membutuhkan. Dengan demikian pada murid melayani dan menyambut Kristus dalam hidupnya. Pada kalimat terakhir, dikatakan…(Dibacakan). Ini juga adalah sikap hidup pengikut Kristus. Merendahkan diri dan bergantung kepada Yang Maha Kuasa, seperti sikap anak kecil yang masih menggantungkan hidupnya pada orang dewasa.

Sdara/I yang terkasih dalam Kristus,
Begitu pula Firman Tuhan bagi kita pada saat ini,
1. Melayani orang yang membutuhkan. Menyambut mereka seperti seorang anak kecil yang akan selalu diberi pengajaran dan pelayanan. Coba refleksikan diri kita melalui Firman Tuhan ini. Berikan pelayanan dan pengajaran kepada sesama kita, seperti kita melayani Tuhan.
2. Mari rendahkan diri untuk saling mengisi satu sama lain seperti seorang anak kecil. Bukan menjadi anak kecil, namun memiliki sifat polos, jujur, terbuka sebagai kesiapan untuk belajar, diberi arahan, dinasihati, saling membangun dalam persekutuan kita, sehingga hidup kita selalu diberkati Tuhan.

Terpujilah Kristus, Amin.

Senin, 02 Mei 2016

Khotbah ESTER 7:8-10

Seorang bapak membawa anaknya ke sebuah lembah. “Nak, coba kamu teriakkan sebuah kata,” ujarnya. “Untuk apa, Pak?” tanya sang anak. “Coba saja,” kata bapak itu lagi. Sang anak menurut. Ia beranjak ke ujung lembah.  Anak itupun berteriak “Hai!”. Sejenak sepi dan tidak terdengar balasan apa-apa. Tetapi tidak lama kemudian terdengar suara gema dari arah lembah, “Hai …  hai …  hai … ” Begitu pula dengan setiap kata yang diteriakkannya setelah itu. Kembali dengan kata yang sama. Bapak itu pun membukakan hikmah yang hendak ia ajarkan. “Nak, seperti itulah hidup kita. Apa yang kita tabur, itu juga yang akan kita tuai,” katanya.

Saudara/I, bacaan hari ini mencatat kejadian yang membuktikan tentang hukum tabur tuai tersebut. Kisah ini harus di runtut dari permulaan untuk dapat mengerti kisah seutuhnya dari bacaan kita. Kisah ini sebaiknya di mulai dari pasal 4 kitab Ester, yakni Setelah peristiwa berhasilnya Mordekhai menggagalkan rencana pembunuhan raja Ahasyweros. Muncul masalah baru muncul bagi Mordekhai ketika ia bertemu dengan Haman, pejabat tinggi raja. Haman adalah keturunan bangsa Amalek dan musuh orang Yahudi (Keluaran 17:14-16; Ulangan 25:17-19). Sedangkan Mordekhai adalah adalah keturunan raja Saul, raja pertama Israel yang mengalahkan orang Amalek (1 Samuel 15:1-33).
Haman menetapkan agar semua pegawai raja yang di pintu gerbang istana raja berlutut dan sujud kepada Haman,  sesuai dengan perintah raja. Namun Mordekhai yang juga adalah pejabat istana raja, tidak mau melaksanakan perintah untuk berlutut dan bersujud kepada Haman. Mendengar laporan tersebut panaslah hati Haman (Ester 3). Sebenarnya Mordekhai menolak perintah tersebut, bukan karena ia tidak menghormati kedudukan dan jabatan Haman. Namun karena Mordekhai hanya boleh sujud dan menyembah Tuhan Allah yang ia sembah.
Karena kecewa atas sikap Mordekhai. Maka secara terus menerus Haman merancang muslihat, untuk memusnahkaan kaum Yahudi di kerajaan Ahasyweros dengan merekayasa suatu fakta tentang kaum Yahudi yang sangat dikenal dengan fanatisme mereka terhadap Tuhan Allah yang mereka sembah (Ester 3).  Maka Haman menghadap raja Ahayweros untuk menghasut raja agar kaum Yahudi dimusnahkan dari kerajaan Ahasyweros.
Saudara/I, Muslihat jahat Haman tidaklah berjalan mulus, karena Mordekhai dan ratu Ester tidak tinggal diam untuk menolong kaumnya dari niat jahat Haman. Dengan kerendahan hati dan dengan kelemahlembutannya, ratu Ester memohon kepada raja agar mempertimbangkan kembali keputusannya untuk memusnahkan kaumnya dari kerajaan Ahasyweros. Atas permohonan ratu Ester tersebut raja Ahasyweros menanyakan kepada ratu Ester, siapakah sebenarnya yang menjadi otak dari  muslihat tersebut. Dengan berani Ester mengatakan bahwa Hamanlah yang merancangnya (pasal 7 ayat 6). Mendengar perihal tersebut, takutlah Haman sehingga ia menghadap sang ratu, berlutut pada katil tempat ratu Ester berbaring. Haman memohon kepada ratu Ester agar ia dimaaafkan. Ketika raja kembali dari taman istana, ia melihat pemandangan tersebut tidak pantas dilakukan oleh seorang pejabat istana terhadap sang ratu (ayat 8). Maka raja menitahkan agar Haman dihukum mati.
Haman kena batunya. Sehari sebelumnya dia telah mendampingi seorang Yahudi mengadakan pawai kemenangan di sepanjang jalan-jalan kota itu, sekarang ia mengemis kepada seorang perempuan Yahudi untuk menyelamatkan nyawanya! Para sida-sida tampaknya telah melaporkan sejumlah kejahatan yang dilakukan oleh Haman agar sesuai dengan amarah raja kepadanya, dan mengakhiri laporan tersebut dengan menunjuk pada tiang setinggi tujuh puluh lima kaki yang ada di halaman rumah Haman yang kelihatan dengan jelas dari istana. Dengan mengikuti saran dari para penasihatnya, seperti biasa, raja memerintahkan untuk menggantung Haman di tiang yang telah dibangun sendiri olehnya.
Saudara/I, Perjuangan Mordekhai dan ratu Ester mempertahankan dan menjaga keutuhan kehidupan kaum Yahudi di kerajaan Ahasyweros tidaklah sia-sia, meskipun dalam sekian waktu lamanya Mordehkai dan ratu Ester harus merahasiakan identitas mereka. Namun tindakan tersebut adalah suatu perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa untuk keselamatan kaumnya.
Sikap yang rendah hati dan sikap hormat yang diwariskan Mordekhai kepada ratu Ester menjadikan ratu Ester gigih memperjuangkan keselamatan kaumnya dari niat jahat Haman. Ratu Ester tidak hanya memikirkan keselamatan dirinya bersama Mordekhai semata-mata, tetapi ia mau berkorban dan berjuang untuk seluruh lapisan masyarakat di kerajaan Ahasyweros.
Saudara/I, Firman Tuhan mengajarkan kepada kita supaya kita menabur yang baik, karena apa yang kita tabur pasti akan kita tuai (Galatia 6:7). Kalau kita menabur yang baik, kita pasti menuai yang baik pula. Demikian sebaliknya, kalau kita menabur yang tidak baik, pasti kita akan menuai yang tidak baik juga. Seseorang pernah berkata, “jangan lemparkan batu kepada orang lain, karena jika itu kembali kepadamu, pasti sangat menyakitkan. Lemparkan roti kepada orang lain dan jika itu kembali kepadamu pasti menyenangkan.”
Menabur dan menuai adalah dua hal yang saling terkait. Tidak saja dalam pertanian, tetapi juga dalam hidup sehari-hari. Ketika kita menanam benih padi yang baik, biasanya kita pun akan menuai padi yang baik. Ingatlah bahwa kehidupan kita seperti Bumerang, Apa yang kita lemparkan itu juga yang akan kembali. Haman menabur kejahatan, maka dia sendirilah yang menuai kejahatan itu. Kitapun diajarkan agar selalu menabur dan merancangkan kebaikan bagi orang lain, supaya hanya kebaikanlah yang kita terima.
Saudara/I, Kisah dalam bacaan kita ini juga menunjukkan bahwa kekuasaan seseorang bagaimanapun tingginya masih mempunyai batasan. Kekuasaan yang dimiliki oleh Haman terbendung oleh kekuasaan raja, sehingga dengan kejahatan yang telah dilakukannya itu, raja memerintahkan untuk menggantung Haman di tiang yang telah dibangunnya sendiri.

Karena itu, berita Firman Tuhan hari ini juga mengajak kita semua untuk bersedia merendahkan hati dalam situasi apapun supaya kita jangan “kena batunya” seperti Haman. Tidak ada hukuman yang terlewatkan oleh Tuhan untuk setiap perbuatan jahat yang dilakukan manusia baik dari jaman dahulu sampai dengan jaman sekarang. Setiap hari kejahatan manusia terus terjadi dan terungkapnya kasus karena Tuhan menghukum melalui proses yang tidak satu orang manusiapun yang mampu menyimpan kejahatan itu. Atau dengan perkataan lain sehebatnya menutupi kesalahan maka akan terungkap juga dan sanksi akan dihadapi oleh yang bersangkutan. Mari kita selalu berbuat baik dan benar di dalam Tuhan. Salam damai. Amin.

Minggu, 01 Mei 2016

Aku, Kau, Kita, Kasih (Refleksi Kasih)

Aku adalah pribadiku sendiri yang berkuasa atas diriku, yang membuat aku selalu sama dengan diriku sendiri dan berbeda dari aku-aku yang lain. Aku tidak bisa hidup sendiri tanpa aku-aku yang lain. Aku-ku dan aku yang lain (kau) ketika bersatu, maka akan berada di dalam kita. Ketika aku-ku dan aku-aku yang lain bersatu dalam kebersesamaan, maka terciptalah kasih. Kasih - tidak mengasihi tidak bisa hadir tanpa media. Untuk itu diperlukan Aku-ku dan aku yang lain untuk menjadi media terbentuknya kasih. Kita hidup di dunia ini selalu berproses untuk menjadi semakin aku. Aku tidak dapat menjadi semakin aku tanpa kau, dan kau tidak dapat menjadi semakin kau tanpa aku. Karena itu aku-ku dan aku-mu tidak dapat hidup sendiri, tetapi kita saling membutuhkan. Aku-ku dan kau dikatakan mengasihi ketika aku-ku dan aku-mu bisa membuat aku menjadi semakin aku dan kau menjadi semakin kau dengan saling menutupi kekurangan yang ada pada aku-ku dan aku-mu. Adanya aku pada kau juga mempengaruhi aku-ku. Contohnya, ketika aku mengasihi kau, maka secara tidak langsung aku sudah mengasihi aku-ku. Ketika aku membenci engkau, maka secara tidak langsung aku mebenci aku-ku sendiri, karena aku sadar ada aku juga di dalammu. Ketika aku dan kau menyadari adanya aku pada diriku dan aku pada dirimu, kita tidak akan saling menyakiti satu sama lain, tidak akan menganggap rendah satu sama lain. Itulah mengasihi.

Kasih bisa mencul ketika aku dan kau bersatu, karena kasih bukan hanya mencakup kebersamaan namun lebih dalam dari itu yaitu kebersesamaan yang artinya sama-sama atau turut merasakan setiap hal yang terjadi. Kasih bersumber dari Allah, untuk itu kita harus saling mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Kasih harus dibagikan kepada sesama kita. Seperti digambarkan sebuah obor yang menyalakan ribuan obor tanpa kekurangan terangnya. Demikian halnya dengan kasih kita tidak akan berkurang bila kita bagikan kepada sesama. Untuk itu kita harus membagikan kasih tersebut, jangan menahan kasih itu kepada orang lain; maka kita semua akan hidup bahagia karena memiliki kasih.

CORAK TEOLOGIS YANG MENDOMINASI PADA ABAD PERTENGAHAN


Pada zaman Gereja Lama orang – orang Yunani dan Romawi yang telah masuk Kristen, menggunakan pengetahuan dan filsafatnya untuk mengungkapkan iman mereka terhadap segala serangan dari pihak lain atau pihak kafir dan untuk melawan segala pandangan – pandangan yang dianggap menyesatkan. Oleh karena itu teologi – teologi zaman dahulu itu tumbuh dari jemaat sendiri serta mendapat perumusannya di dalam keputusan – keputusan pada konsili – konsili besar, seperti konsili di Nicea dan Chalcedon. Hal inilah yang berpengaruh sampai pada teologi – teologi di Abad Pertengahan. Teologi dan ajaran – ajaran pada Abad Pertengahan kebanyakan merupakan hasil sinkritisme dari beberapa pemikiran. Diantaranya adalah (a) campuran antara ajaran Alkitab dengan Filsafat Yunani, dan (b) campuran antara kesalehan yang bersifat alkitabiah dengan agama kafir.
Berbeda dengan zaman Gereja Lama yang sangat tertutup, pada Abad Pertengahan bangsa – bangsa di Eropa Barat dan Utara membuka diri terhadap ajaran – ajaran dari luar, terlebih ajaran dari zaman Gereja Lama. Penduduk Eropa Barat mulai memperhatikan kembali karangan karangan filsafat Yunani, terutama yang dari Plato dan Aristoteles, yang mengandung pemikiran – pemikiran yang berlainan dengan ajaran gereja. Lama – kelamaan kaum terpelajar mulai menuntut ilmu teologi juga. Hal ini terjadi di sekolah – sekolah tinggi, yang timbul kira – kira pada tahun 1000, dan sekolah – sekolah ini kurang berhubungan dengan jemaat biasa. Mereka dari kaum terpelajar inilah yang bercita – cita untuk menyelaraskan ajaran gereja itu dengan filsafat Yunani. Aliran teologi inilah yang disebut “teologi scholastik”.
Ilmu scholastik tidak berniat menciptakan pasal – pasal kepercayaan yang baru, namun maksudnya tidak lain daripada memikirkan kembali isi teologi yang diwarisinya dari waktu dahulu. Ahli – ahli scholastik berkeyakinan bahwa segala ajaran Gereja itu bukan saja harus dipercaya, tetapi dapat dimengerti juga oleh manusia. Sebab itu mereka berusaha untuk membuktikan bahwa segala sesuatu yang telah dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi manusia. Dengan demikian soal yang terutama yang dipikirkan dan dirundingkan oleh scholastik adalah: bagaimanakah relasi antara penyataan (wahyu) Tuhan dengan akal budi manusia? Karena itu, untuk mengerti penyataan Tuhan dipakainya teologi Augustinus, dan untuk melatihnya dalam hal berpikir menurut ilmu filsafat dipergunakannya pemikiran dari Aristoteles, ahli filsafat Yunani yang mashyur itu.
Beberapa tokoh terkenal dalam teologi scholastik adalah:
1.      Anselmus (1033-1109), seorang Italia yang menjadi uskup besar di Cantebury (Inggris). Semboyannya adalah: aku percaya supaya aku mengerti. Ia mulai percaya kepada segala penyataan Tuhan yang diajarkan oleh Gereja, tetapi sesudah itu ia berusaha untuk menjelaskan segala pasal kepercayaan itu, sehingga diakui selaku kebenaran oleh otak manusia.
2.      Petrus Abelardus (1079-1142). Pada pendapatnya, persesuaian iman dan akal budi adalah lebih sukar untuk mewujudkannya. Semboyannya ialah: lebih dahulu aku harus mengerti, barulah aku percaya. Tujuannya disini adalah supaya akal budi dipuaskan dan iman mendapat dasar yang teguh.
3.      Thomas dari Aquino (1225-1274), seorang rahib anggota ordo Dominikan. Ia berhasil menampung asas – asas filsafat dalam teologi yang menyeluruh. Teologi Thomaslah yang paling digemari. Menurut Thomas, dunia ini dan kehidupan manusia terbagi atas dua tingkat. Tingkat yang di bawah dibentuk oleh hidup kodrati (hidup alamiah) yang dapat dipahami dengan akal budi. Hidup biasa ini menuju kepada persekutuan dengan Allah, sehingga belum sempurna selama persekutuan itu. Sebab itu hidup kodrati perlu ditambah dan digenapi oleh suatu tingkat atas, yaitu hidup adikodrati (hidup rahmat) yang lebih tinggi yang datang dari Tuhan. Karena itu teologinya memuaskan para cendekiawan zaman itu. Thomas bukanlah seorang teolog yang hanya tahu menulis karya – karya teologi yang terpelajar; ia juga adalah seorang penyair yang menyusun syair – syair indah yang dinyanyikan dalam perayaan Misa. Namun demikian, dalam teologinya ia berbicara tentang Allah dengan cara filsafat Plato dan Aristoteles. Menurut pandangan Thomas, manusia sudah dirusak oleh dosa sehingga ia tidak dapat berbuat sesuatu apapun yang berkenan kepada Allah dan hanya dapat diselamatkan oleh rahmat Allah saja.
Akan tetapi keadaan dunia ini dan wujud hidup manusia itu tidaklah dapat dijelaskan semudah itu. Dan oleh karena dasar teologi yang indah ini tidak lain daripada filsafat kafir maka anugerah (kasih-karunia) tidak dapat dihargai dengan semestinya. Alkitab tidak mengajarkan adanya dua tingkat, karena dosa bukanlah suatu kekurangan saja, tetapi kerusakan tabiat manusia dan ciptaan Allah sama sekali. Hidup kodrati manusia tidak mempunyai sesuatu apapun, yang boleh dipakai oleh Tuhan sebagai dasar bagi pekerjaan rahmat-Nya. Rahmat itu bukan tambahan saja kepada tabiat kodrati, melainkan penyataan kasih Tuhan, yang dengannya manusia dan dunia yang tak dapat tidak harus mati dan binasa untuk selama – lamanya, diselamatkan dan dibaharui pula dan diperdamaikan dengan Allah. Lagipula kesembuhan semesta alam bukan didatangkan dengan berangsur – angsur pada zaman ini dengan perantaraan Gereja, melainkan hal itu dijanjikan kepada Gereja selaku suatu mujizat dari Tuhan yang akan berlaku pada akhirat. Iman Kristen pun jauh lebih indah dari pengakuan akal budi saja. Maka Tampaklah bahwa Injil sekali – kali tidak menunjukkan suatu persekutuan mulia antara penyataan Allah dengan akal budi manusia, seperti yang disangka oleh Thomas.






TOKOH REFORMATOR YANG MEMBAWA PERUBAHAN
Hal yang menyebabkan timbulnya pembaharuan gereja ialah perbedaan antara teologi serta praktik gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Peristiwa yang membuat Reformasi itu mulai adalah penjualan surat-surat penghapusan siksa di Jerman oleh Tetzel. Menentang ucapan-ucapan Tetzel, Luther menyusun ke-95 dalilnya.
Apa yang telah ditemukan oleh seorang guru teologi jauh di daerah, merupakan bahan peledak yang nanti akan meruntuhkan susunan gereja. Tetapi pemimpin-pemimpin gereja di pusat tidak menyadari bahaya yang mengancam. Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk merencanakan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang harus melambangkan keagungan Gereja Barat. Untuk mengumpulkan dana bagi proyek itu, mereka memaklumkan penghapusan siksa bagi orang-orang yang akan memberi sumbangan. Di Jerman, surat-surat penghapusan siksa itu diperdagangkan oleh Tetzel. Dan perdagangan itulah yang menjadi pendorong dimulainya Reformasi.
Meskipun Tetzel seorang anggota Ordo Dominikan, namun ia tidak begitu mengindahkan rumusan-rumusan teologi yang halus. Ajaran resmi mengenai penghapusan siksa itu menentukan bahwa penghapusaan itu hanya berlaku, kalau orang sungguh-sungguh menyesali dosanya dan kalau dosa itu telah diampuni melalui sakramen pengakuan dosa. Namun, Tetzel berusaha meningkatkan penjualan barangnya dengan mengatakan bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu menghapuskan dosa juga dan memperdamaikan orang dengan Allah. Demikianlah orang mendapat kesan bahwa pengampunan dosa dan pendamaian dengan Allah bisa diperoleh dengan uang, di luar penyesalan hati dan di luar sakramen-sakramen juga.
Luther, sebagai seorang imam juga harus menerima pengakuan dosa dari pihak anggota-anggota jemaat. Karena pengalamannya sendiri, maka ia sangat bersungguh-sungguh dalam hal ini. Kini ia didatangi oleh orang-orang yang menganggap sepi ajakan yang diberikannya sesudah pengakuan, agar mereka betul-betul menyesal dan menunjukkan penyesalan mereka dengan perbuatannya. Mereka memperlihatkan kepadanya surat penghapusan siksa sambil berkata: dosa kami sudah diampuni. Luther kaget. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menjadikan hal ini sebagai pokok pembicaraan antara sarjana-sarjana teologi. Begitulah ia menyusun 95 dalil mengenai penghapusan siksa, dalam bahasa Latin, bahasa kaum cendekiawan. Pada tanggal 31 Oktober 1517, ia memperkenalkan dalil-dalil itu dengan menempelkannya di pintu gereja di Wittenberg (bacaan 1).
  1. Dalil-dalil Luther menyangkut perkara yang sudah menghebohkan masyarakat Jerman, meskipun biasanya dengan alasan lain (harta Jerman yang mengalir ke luar negeri). Dari sebab itu, tulisan tersebut dibaca dengan asyik oleh orang banyak. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja di Roma menuding Luther sebagai seorang penyesat.
Dalam dalil-dalilnya itu, Luther menentang perkataan-perkataan Tetzel. Bahkan, ia menegaskan pula bahwa penyesalan sejati bukanlah sesuatu hal yang dapat diselesaikan orang dengan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan oleh iman setelah pengakuan dosa, misalnya dengan mengucapkan Doa Bapa Kami sekian kali. Penyesalan itu berlangsung selama hidup! Itulah makna dalil yang pertama, yang berbunyi: "Apabila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata: Bertobatlah, dan seterusnya, yang dimaksudkanNya ialah bahwa seluruh kehidupan orang percaya haruslah merupakan pertobatan (=penyesalan)." Siapa yang betul-betul mengasihi Allah, tidak akan berusaha secara egoistis menebus hukuman atas dosanya, apalagi dengan uang; yang penting baginya ialah agar Allah mengampuni kesalahannya. Luther belum menyangkal adanya api penyucian, sama seperti ia belum menyangkal kekuasaan sri paus dan banyak hal lain yang di kemudian hari ditolaknya. Maksudnya, hanyalah untuk melawan pendapat seakan-akan surat-surat penghapusan siksa itu dapat memberi keselamatan, seperti yang didengung-dengungkan oleh para penjajanya untuk menipu rakyat biasa. Namun, sebenarnya Luther telah merombak seluruh ajaran Gereja Abad Pertengahan, bila ia mengatakan, "Bukan sakramen, melainkan imanlah yang menyelamatkan."
Dalil-dalil diterjemahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya ke dalam bahasa Jerman, dan dalam waktu empat minggu saja sudah tersiar ke seluruh Jerman. Umat Kristen, yang sudah lama tidak senang lagi mengenai keadaan gereja, kini mendengar suara yang menyatakan keberatannya dan yang sekaligus menunjukkan jalan lain.







Daftar Pustaka
1.      Van Den End Thomas, Harta Dalam Bejana, BPK, 1990.

2.      Dr. Berkhof H & Dr. Enklaar I. H, Sejarah Gereja, BPK, 1987.