Pada
zaman Gereja Lama orang – orang Yunani dan Romawi yang telah masuk Kristen,
menggunakan pengetahuan dan filsafatnya untuk mengungkapkan iman mereka
terhadap segala serangan dari pihak lain atau pihak kafir dan untuk melawan
segala pandangan – pandangan yang dianggap menyesatkan. Oleh karena itu teologi
– teologi zaman dahulu itu tumbuh dari jemaat sendiri serta mendapat
perumusannya di dalam keputusan – keputusan pada konsili – konsili besar,
seperti konsili di Nicea dan Chalcedon. Hal inilah yang berpengaruh sampai pada
teologi – teologi di Abad Pertengahan. Teologi dan ajaran – ajaran pada Abad
Pertengahan kebanyakan merupakan hasil sinkritisme dari beberapa pemikiran.
Diantaranya adalah (a) campuran antara ajaran Alkitab dengan Filsafat Yunani,
dan (b) campuran antara kesalehan yang bersifat alkitabiah dengan agama kafir.
Berbeda
dengan zaman Gereja Lama yang sangat tertutup, pada Abad Pertengahan bangsa –
bangsa di Eropa Barat dan Utara membuka diri terhadap ajaran – ajaran dari
luar, terlebih ajaran dari zaman Gereja Lama. Penduduk Eropa Barat mulai
memperhatikan kembali karangan karangan filsafat Yunani, terutama yang dari
Plato dan Aristoteles, yang mengandung pemikiran – pemikiran yang berlainan
dengan ajaran gereja. Lama – kelamaan kaum terpelajar mulai menuntut ilmu teologi
juga. Hal ini terjadi di sekolah – sekolah tinggi, yang timbul kira – kira pada
tahun 1000, dan sekolah – sekolah ini kurang berhubungan dengan jemaat biasa.
Mereka dari kaum terpelajar inilah yang bercita – cita untuk menyelaraskan
ajaran gereja itu dengan filsafat Yunani. Aliran teologi inilah yang disebut
“teologi scholastik”.
Ilmu
scholastik tidak berniat menciptakan pasal – pasal kepercayaan yang baru, namun
maksudnya tidak lain daripada memikirkan kembali isi teologi yang diwarisinya
dari waktu dahulu. Ahli – ahli scholastik berkeyakinan bahwa segala ajaran
Gereja itu bukan saja harus dipercaya, tetapi dapat dimengerti juga oleh
manusia. Sebab itu mereka berusaha untuk membuktikan bahwa segala sesuatu yang
telah dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi
manusia. Dengan demikian soal yang terutama yang dipikirkan dan dirundingkan
oleh scholastik adalah: bagaimanakah
relasi antara penyataan (wahyu) Tuhan dengan akal budi manusia? Karena itu,
untuk mengerti penyataan Tuhan dipakainya teologi Augustinus, dan untuk
melatihnya dalam hal berpikir menurut ilmu filsafat dipergunakannya pemikiran
dari Aristoteles, ahli filsafat Yunani yang mashyur itu.
Beberapa
tokoh terkenal dalam teologi scholastik adalah:
1.
Anselmus
(1033-1109), seorang Italia yang menjadi uskup besar di Cantebury (Inggris).
Semboyannya adalah: aku percaya supaya
aku mengerti. Ia mulai percaya kepada segala penyataan Tuhan yang diajarkan
oleh Gereja, tetapi sesudah itu ia berusaha untuk menjelaskan segala pasal
kepercayaan itu, sehingga diakui selaku kebenaran oleh otak manusia.
2.
Petrus
Abelardus (1079-1142). Pada pendapatnya, persesuaian iman dan
akal budi adalah lebih sukar untuk mewujudkannya. Semboyannya ialah: lebih dahulu aku harus mengerti, barulah aku
percaya. Tujuannya disini adalah supaya akal budi dipuaskan dan iman
mendapat dasar yang teguh.
3.
Thomas
dari Aquino (1225-1274), seorang rahib anggota ordo
Dominikan. Ia berhasil menampung asas – asas filsafat dalam teologi yang
menyeluruh. Teologi Thomaslah yang paling digemari. Menurut Thomas, dunia ini
dan kehidupan manusia terbagi atas dua
tingkat. Tingkat yang di bawah dibentuk oleh hidup kodrati (hidup alamiah) yang dapat dipahami dengan akal budi.
Hidup biasa ini menuju kepada persekutuan dengan Allah, sehingga belum sempurna
selama persekutuan itu. Sebab itu hidup kodrati perlu ditambah dan digenapi
oleh suatu tingkat atas, yaitu hidup
adikodrati (hidup rahmat) yang lebih tinggi yang datang dari Tuhan. Karena
itu teologinya memuaskan para cendekiawan zaman itu. Thomas bukanlah seorang
teolog yang hanya tahu menulis karya – karya teologi yang terpelajar; ia juga
adalah seorang penyair yang menyusun syair – syair indah yang dinyanyikan dalam
perayaan Misa. Namun demikian, dalam teologinya ia berbicara tentang Allah
dengan cara filsafat Plato dan Aristoteles. Menurut pandangan Thomas, manusia
sudah dirusak oleh dosa sehingga ia tidak dapat berbuat sesuatu apapun yang
berkenan kepada Allah dan hanya dapat diselamatkan oleh rahmat Allah saja.
Akan
tetapi keadaan dunia ini dan wujud hidup manusia itu tidaklah dapat dijelaskan
semudah itu. Dan oleh karena dasar teologi yang indah ini tidak lain daripada
filsafat kafir maka anugerah (kasih-karunia) tidak dapat dihargai dengan
semestinya. Alkitab tidak mengajarkan adanya dua tingkat, karena dosa bukanlah
suatu kekurangan saja, tetapi kerusakan tabiat manusia dan ciptaan Allah sama
sekali. Hidup kodrati manusia tidak mempunyai sesuatu apapun, yang boleh
dipakai oleh Tuhan sebagai dasar bagi pekerjaan rahmat-Nya. Rahmat itu bukan
tambahan saja kepada tabiat kodrati, melainkan penyataan kasih Tuhan, yang
dengannya manusia dan dunia yang tak dapat tidak harus mati dan binasa untuk
selama – lamanya, diselamatkan dan dibaharui pula dan diperdamaikan dengan
Allah. Lagipula kesembuhan semesta alam bukan didatangkan dengan berangsur –
angsur pada zaman ini dengan perantaraan Gereja, melainkan hal itu dijanjikan
kepada Gereja selaku suatu mujizat dari Tuhan yang akan berlaku pada akhirat.
Iman Kristen pun jauh lebih indah dari pengakuan akal budi saja. Maka Tampaklah
bahwa Injil sekali – kali tidak menunjukkan suatu persekutuan mulia antara
penyataan Allah dengan akal budi manusia, seperti yang disangka oleh Thomas.
TOKOH REFORMATOR YANG MEMBAWA
PERUBAHAN
Hal yang
menyebabkan timbulnya pembaharuan gereja ialah perbedaan antara teologi serta
praktik gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther.
Peristiwa yang membuat Reformasi itu mulai adalah penjualan surat-surat
penghapusan siksa di Jerman oleh Tetzel. Menentang ucapan-ucapan Tetzel, Luther
menyusun ke-95 dalilnya.
Apa yang telah ditemukan oleh seorang guru teologi jauh di
daerah, merupakan bahan peledak yang nanti akan meruntuhkan susunan gereja.
Tetapi pemimpin-pemimpin gereja di pusat tidak menyadari bahaya yang mengancam.
Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk merencanakan pembangunan gereja
raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang harus melambangkan keagungan
Gereja Barat. Untuk mengumpulkan dana bagi proyek itu, mereka memaklumkan penghapusan
siksa bagi orang-orang yang akan memberi sumbangan. Di Jerman, surat-surat
penghapusan siksa itu diperdagangkan oleh Tetzel. Dan perdagangan itulah yang
menjadi pendorong dimulainya Reformasi.
Meskipun Tetzel seorang anggota Ordo Dominikan, namun ia tidak
begitu mengindahkan rumusan-rumusan teologi yang halus. Ajaran resmi mengenai
penghapusan siksa itu menentukan bahwa penghapusaan itu hanya berlaku, kalau
orang sungguh-sungguh menyesali dosanya dan kalau dosa itu telah diampuni
melalui sakramen pengakuan dosa. Namun, Tetzel berusaha meningkatkan penjualan
barangnya dengan mengatakan bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu
menghapuskan dosa juga dan memperdamaikan orang dengan Allah. Demikianlah orang
mendapat kesan bahwa pengampunan dosa dan pendamaian dengan Allah bisa
diperoleh dengan uang, di luar penyesalan hati dan di luar sakramen-sakramen
juga.
Luther, sebagai seorang imam juga harus
menerima pengakuan dosa dari pihak anggota-anggota jemaat. Karena pengalamannya
sendiri, maka ia sangat bersungguh-sungguh dalam hal ini. Kini ia didatangi
oleh orang-orang yang menganggap sepi ajakan yang diberikannya sesudah
pengakuan, agar mereka betul-betul menyesal dan menunjukkan penyesalan mereka
dengan perbuatannya. Mereka memperlihatkan kepadanya surat penghapusan siksa
sambil berkata: dosa kami sudah diampuni. Luther kaget. Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk menjadikan hal ini sebagai pokok pembicaraan antara
sarjana-sarjana teologi. Begitulah ia menyusun 95 dalil mengenai penghapusan siksa,
dalam bahasa Latin, bahasa kaum cendekiawan. Pada tanggal 31 Oktober 1517, ia
memperkenalkan dalil-dalil itu dengan menempelkannya di pintu gereja di
Wittenberg (bacaan 1).
- Dalil-dalil
Luther menyangkut perkara yang sudah menghebohkan masyarakat Jerman,
meskipun biasanya dengan alasan lain (harta Jerman yang mengalir ke luar
negeri). Dari sebab itu, tulisan tersebut dibaca dengan asyik oleh orang
banyak. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja di Roma menuding Luther
sebagai seorang penyesat.
Dalam dalil-dalilnya itu, Luther menentang
perkataan-perkataan Tetzel. Bahkan, ia menegaskan pula bahwa penyesalan sejati
bukanlah sesuatu hal yang dapat diselesaikan orang dengan memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh iman setelah pengakuan dosa, misalnya dengan
mengucapkan Doa Bapa Kami sekian kali. Penyesalan itu berlangsung selama hidup!
Itulah makna dalil yang pertama, yang berbunyi: "Apabila Tuhan dan Guru
kita Yesus Kristus berkata: Bertobatlah, dan seterusnya, yang dimaksudkanNya
ialah bahwa seluruh kehidupan orang percaya haruslah merupakan pertobatan (=penyesalan)." Siapa yang betul-betul mengasihi Allah, tidak akan berusaha
secara egoistis menebus hukuman atas dosanya, apalagi dengan uang; yang penting
baginya ialah agar Allah mengampuni kesalahannya. Luther belum menyangkal
adanya api penyucian, sama seperti ia belum menyangkal kekuasaan sri paus dan
banyak hal lain yang di kemudian hari ditolaknya. Maksudnya, hanyalah untuk
melawan pendapat seakan-akan surat-surat penghapusan siksa itu dapat memberi keselamatan,
seperti yang didengung-dengungkan oleh para penjajanya untuk menipu rakyat
biasa. Namun, sebenarnya Luther telah merombak seluruh ajaran Gereja Abad
Pertengahan, bila ia mengatakan, "Bukan sakramen, melainkan imanlah yang
menyelamatkan."
Dalil-dalil diterjemahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya ke
dalam bahasa Jerman, dan dalam waktu empat minggu saja sudah tersiar ke seluruh
Jerman. Umat Kristen, yang sudah lama tidak senang lagi mengenai keadaan
gereja, kini mendengar suara yang menyatakan keberatannya dan yang sekaligus
menunjukkan jalan lain.
Daftar Pustaka
1. Van
Den End Thomas, Harta Dalam Bejana, BPK, 1990.
2. Dr.
Berkhof H & Dr. Enklaar I. H, Sejarah Gereja, BPK, 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar