Minggu, 01 Mei 2016

CORAK TEOLOGIS YANG MENDOMINASI PADA ABAD PERTENGAHAN


Pada zaman Gereja Lama orang – orang Yunani dan Romawi yang telah masuk Kristen, menggunakan pengetahuan dan filsafatnya untuk mengungkapkan iman mereka terhadap segala serangan dari pihak lain atau pihak kafir dan untuk melawan segala pandangan – pandangan yang dianggap menyesatkan. Oleh karena itu teologi – teologi zaman dahulu itu tumbuh dari jemaat sendiri serta mendapat perumusannya di dalam keputusan – keputusan pada konsili – konsili besar, seperti konsili di Nicea dan Chalcedon. Hal inilah yang berpengaruh sampai pada teologi – teologi di Abad Pertengahan. Teologi dan ajaran – ajaran pada Abad Pertengahan kebanyakan merupakan hasil sinkritisme dari beberapa pemikiran. Diantaranya adalah (a) campuran antara ajaran Alkitab dengan Filsafat Yunani, dan (b) campuran antara kesalehan yang bersifat alkitabiah dengan agama kafir.
Berbeda dengan zaman Gereja Lama yang sangat tertutup, pada Abad Pertengahan bangsa – bangsa di Eropa Barat dan Utara membuka diri terhadap ajaran – ajaran dari luar, terlebih ajaran dari zaman Gereja Lama. Penduduk Eropa Barat mulai memperhatikan kembali karangan karangan filsafat Yunani, terutama yang dari Plato dan Aristoteles, yang mengandung pemikiran – pemikiran yang berlainan dengan ajaran gereja. Lama – kelamaan kaum terpelajar mulai menuntut ilmu teologi juga. Hal ini terjadi di sekolah – sekolah tinggi, yang timbul kira – kira pada tahun 1000, dan sekolah – sekolah ini kurang berhubungan dengan jemaat biasa. Mereka dari kaum terpelajar inilah yang bercita – cita untuk menyelaraskan ajaran gereja itu dengan filsafat Yunani. Aliran teologi inilah yang disebut “teologi scholastik”.
Ilmu scholastik tidak berniat menciptakan pasal – pasal kepercayaan yang baru, namun maksudnya tidak lain daripada memikirkan kembali isi teologi yang diwarisinya dari waktu dahulu. Ahli – ahli scholastik berkeyakinan bahwa segala ajaran Gereja itu bukan saja harus dipercaya, tetapi dapat dimengerti juga oleh manusia. Sebab itu mereka berusaha untuk membuktikan bahwa segala sesuatu yang telah dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi manusia. Dengan demikian soal yang terutama yang dipikirkan dan dirundingkan oleh scholastik adalah: bagaimanakah relasi antara penyataan (wahyu) Tuhan dengan akal budi manusia? Karena itu, untuk mengerti penyataan Tuhan dipakainya teologi Augustinus, dan untuk melatihnya dalam hal berpikir menurut ilmu filsafat dipergunakannya pemikiran dari Aristoteles, ahli filsafat Yunani yang mashyur itu.
Beberapa tokoh terkenal dalam teologi scholastik adalah:
1.      Anselmus (1033-1109), seorang Italia yang menjadi uskup besar di Cantebury (Inggris). Semboyannya adalah: aku percaya supaya aku mengerti. Ia mulai percaya kepada segala penyataan Tuhan yang diajarkan oleh Gereja, tetapi sesudah itu ia berusaha untuk menjelaskan segala pasal kepercayaan itu, sehingga diakui selaku kebenaran oleh otak manusia.
2.      Petrus Abelardus (1079-1142). Pada pendapatnya, persesuaian iman dan akal budi adalah lebih sukar untuk mewujudkannya. Semboyannya ialah: lebih dahulu aku harus mengerti, barulah aku percaya. Tujuannya disini adalah supaya akal budi dipuaskan dan iman mendapat dasar yang teguh.
3.      Thomas dari Aquino (1225-1274), seorang rahib anggota ordo Dominikan. Ia berhasil menampung asas – asas filsafat dalam teologi yang menyeluruh. Teologi Thomaslah yang paling digemari. Menurut Thomas, dunia ini dan kehidupan manusia terbagi atas dua tingkat. Tingkat yang di bawah dibentuk oleh hidup kodrati (hidup alamiah) yang dapat dipahami dengan akal budi. Hidup biasa ini menuju kepada persekutuan dengan Allah, sehingga belum sempurna selama persekutuan itu. Sebab itu hidup kodrati perlu ditambah dan digenapi oleh suatu tingkat atas, yaitu hidup adikodrati (hidup rahmat) yang lebih tinggi yang datang dari Tuhan. Karena itu teologinya memuaskan para cendekiawan zaman itu. Thomas bukanlah seorang teolog yang hanya tahu menulis karya – karya teologi yang terpelajar; ia juga adalah seorang penyair yang menyusun syair – syair indah yang dinyanyikan dalam perayaan Misa. Namun demikian, dalam teologinya ia berbicara tentang Allah dengan cara filsafat Plato dan Aristoteles. Menurut pandangan Thomas, manusia sudah dirusak oleh dosa sehingga ia tidak dapat berbuat sesuatu apapun yang berkenan kepada Allah dan hanya dapat diselamatkan oleh rahmat Allah saja.
Akan tetapi keadaan dunia ini dan wujud hidup manusia itu tidaklah dapat dijelaskan semudah itu. Dan oleh karena dasar teologi yang indah ini tidak lain daripada filsafat kafir maka anugerah (kasih-karunia) tidak dapat dihargai dengan semestinya. Alkitab tidak mengajarkan adanya dua tingkat, karena dosa bukanlah suatu kekurangan saja, tetapi kerusakan tabiat manusia dan ciptaan Allah sama sekali. Hidup kodrati manusia tidak mempunyai sesuatu apapun, yang boleh dipakai oleh Tuhan sebagai dasar bagi pekerjaan rahmat-Nya. Rahmat itu bukan tambahan saja kepada tabiat kodrati, melainkan penyataan kasih Tuhan, yang dengannya manusia dan dunia yang tak dapat tidak harus mati dan binasa untuk selama – lamanya, diselamatkan dan dibaharui pula dan diperdamaikan dengan Allah. Lagipula kesembuhan semesta alam bukan didatangkan dengan berangsur – angsur pada zaman ini dengan perantaraan Gereja, melainkan hal itu dijanjikan kepada Gereja selaku suatu mujizat dari Tuhan yang akan berlaku pada akhirat. Iman Kristen pun jauh lebih indah dari pengakuan akal budi saja. Maka Tampaklah bahwa Injil sekali – kali tidak menunjukkan suatu persekutuan mulia antara penyataan Allah dengan akal budi manusia, seperti yang disangka oleh Thomas.






TOKOH REFORMATOR YANG MEMBAWA PERUBAHAN
Hal yang menyebabkan timbulnya pembaharuan gereja ialah perbedaan antara teologi serta praktik gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Peristiwa yang membuat Reformasi itu mulai adalah penjualan surat-surat penghapusan siksa di Jerman oleh Tetzel. Menentang ucapan-ucapan Tetzel, Luther menyusun ke-95 dalilnya.
Apa yang telah ditemukan oleh seorang guru teologi jauh di daerah, merupakan bahan peledak yang nanti akan meruntuhkan susunan gereja. Tetapi pemimpin-pemimpin gereja di pusat tidak menyadari bahaya yang mengancam. Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk merencanakan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang harus melambangkan keagungan Gereja Barat. Untuk mengumpulkan dana bagi proyek itu, mereka memaklumkan penghapusan siksa bagi orang-orang yang akan memberi sumbangan. Di Jerman, surat-surat penghapusan siksa itu diperdagangkan oleh Tetzel. Dan perdagangan itulah yang menjadi pendorong dimulainya Reformasi.
Meskipun Tetzel seorang anggota Ordo Dominikan, namun ia tidak begitu mengindahkan rumusan-rumusan teologi yang halus. Ajaran resmi mengenai penghapusan siksa itu menentukan bahwa penghapusaan itu hanya berlaku, kalau orang sungguh-sungguh menyesali dosanya dan kalau dosa itu telah diampuni melalui sakramen pengakuan dosa. Namun, Tetzel berusaha meningkatkan penjualan barangnya dengan mengatakan bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu menghapuskan dosa juga dan memperdamaikan orang dengan Allah. Demikianlah orang mendapat kesan bahwa pengampunan dosa dan pendamaian dengan Allah bisa diperoleh dengan uang, di luar penyesalan hati dan di luar sakramen-sakramen juga.
Luther, sebagai seorang imam juga harus menerima pengakuan dosa dari pihak anggota-anggota jemaat. Karena pengalamannya sendiri, maka ia sangat bersungguh-sungguh dalam hal ini. Kini ia didatangi oleh orang-orang yang menganggap sepi ajakan yang diberikannya sesudah pengakuan, agar mereka betul-betul menyesal dan menunjukkan penyesalan mereka dengan perbuatannya. Mereka memperlihatkan kepadanya surat penghapusan siksa sambil berkata: dosa kami sudah diampuni. Luther kaget. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menjadikan hal ini sebagai pokok pembicaraan antara sarjana-sarjana teologi. Begitulah ia menyusun 95 dalil mengenai penghapusan siksa, dalam bahasa Latin, bahasa kaum cendekiawan. Pada tanggal 31 Oktober 1517, ia memperkenalkan dalil-dalil itu dengan menempelkannya di pintu gereja di Wittenberg (bacaan 1).
  1. Dalil-dalil Luther menyangkut perkara yang sudah menghebohkan masyarakat Jerman, meskipun biasanya dengan alasan lain (harta Jerman yang mengalir ke luar negeri). Dari sebab itu, tulisan tersebut dibaca dengan asyik oleh orang banyak. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja di Roma menuding Luther sebagai seorang penyesat.
Dalam dalil-dalilnya itu, Luther menentang perkataan-perkataan Tetzel. Bahkan, ia menegaskan pula bahwa penyesalan sejati bukanlah sesuatu hal yang dapat diselesaikan orang dengan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan oleh iman setelah pengakuan dosa, misalnya dengan mengucapkan Doa Bapa Kami sekian kali. Penyesalan itu berlangsung selama hidup! Itulah makna dalil yang pertama, yang berbunyi: "Apabila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata: Bertobatlah, dan seterusnya, yang dimaksudkanNya ialah bahwa seluruh kehidupan orang percaya haruslah merupakan pertobatan (=penyesalan)." Siapa yang betul-betul mengasihi Allah, tidak akan berusaha secara egoistis menebus hukuman atas dosanya, apalagi dengan uang; yang penting baginya ialah agar Allah mengampuni kesalahannya. Luther belum menyangkal adanya api penyucian, sama seperti ia belum menyangkal kekuasaan sri paus dan banyak hal lain yang di kemudian hari ditolaknya. Maksudnya, hanyalah untuk melawan pendapat seakan-akan surat-surat penghapusan siksa itu dapat memberi keselamatan, seperti yang didengung-dengungkan oleh para penjajanya untuk menipu rakyat biasa. Namun, sebenarnya Luther telah merombak seluruh ajaran Gereja Abad Pertengahan, bila ia mengatakan, "Bukan sakramen, melainkan imanlah yang menyelamatkan."
Dalil-dalil diterjemahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya ke dalam bahasa Jerman, dan dalam waktu empat minggu saja sudah tersiar ke seluruh Jerman. Umat Kristen, yang sudah lama tidak senang lagi mengenai keadaan gereja, kini mendengar suara yang menyatakan keberatannya dan yang sekaligus menunjukkan jalan lain.







Daftar Pustaka
1.      Van Den End Thomas, Harta Dalam Bejana, BPK, 1990.

2.      Dr. Berkhof H & Dr. Enklaar I. H, Sejarah Gereja, BPK, 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar