Senin, 02 Mei 2016

Khotbah ESTER 7:8-10

Seorang bapak membawa anaknya ke sebuah lembah. “Nak, coba kamu teriakkan sebuah kata,” ujarnya. “Untuk apa, Pak?” tanya sang anak. “Coba saja,” kata bapak itu lagi. Sang anak menurut. Ia beranjak ke ujung lembah.  Anak itupun berteriak “Hai!”. Sejenak sepi dan tidak terdengar balasan apa-apa. Tetapi tidak lama kemudian terdengar suara gema dari arah lembah, “Hai …  hai …  hai … ” Begitu pula dengan setiap kata yang diteriakkannya setelah itu. Kembali dengan kata yang sama. Bapak itu pun membukakan hikmah yang hendak ia ajarkan. “Nak, seperti itulah hidup kita. Apa yang kita tabur, itu juga yang akan kita tuai,” katanya.

Saudara/I, bacaan hari ini mencatat kejadian yang membuktikan tentang hukum tabur tuai tersebut. Kisah ini harus di runtut dari permulaan untuk dapat mengerti kisah seutuhnya dari bacaan kita. Kisah ini sebaiknya di mulai dari pasal 4 kitab Ester, yakni Setelah peristiwa berhasilnya Mordekhai menggagalkan rencana pembunuhan raja Ahasyweros. Muncul masalah baru muncul bagi Mordekhai ketika ia bertemu dengan Haman, pejabat tinggi raja. Haman adalah keturunan bangsa Amalek dan musuh orang Yahudi (Keluaran 17:14-16; Ulangan 25:17-19). Sedangkan Mordekhai adalah adalah keturunan raja Saul, raja pertama Israel yang mengalahkan orang Amalek (1 Samuel 15:1-33).
Haman menetapkan agar semua pegawai raja yang di pintu gerbang istana raja berlutut dan sujud kepada Haman,  sesuai dengan perintah raja. Namun Mordekhai yang juga adalah pejabat istana raja, tidak mau melaksanakan perintah untuk berlutut dan bersujud kepada Haman. Mendengar laporan tersebut panaslah hati Haman (Ester 3). Sebenarnya Mordekhai menolak perintah tersebut, bukan karena ia tidak menghormati kedudukan dan jabatan Haman. Namun karena Mordekhai hanya boleh sujud dan menyembah Tuhan Allah yang ia sembah.
Karena kecewa atas sikap Mordekhai. Maka secara terus menerus Haman merancang muslihat, untuk memusnahkaan kaum Yahudi di kerajaan Ahasyweros dengan merekayasa suatu fakta tentang kaum Yahudi yang sangat dikenal dengan fanatisme mereka terhadap Tuhan Allah yang mereka sembah (Ester 3).  Maka Haman menghadap raja Ahayweros untuk menghasut raja agar kaum Yahudi dimusnahkan dari kerajaan Ahasyweros.
Saudara/I, Muslihat jahat Haman tidaklah berjalan mulus, karena Mordekhai dan ratu Ester tidak tinggal diam untuk menolong kaumnya dari niat jahat Haman. Dengan kerendahan hati dan dengan kelemahlembutannya, ratu Ester memohon kepada raja agar mempertimbangkan kembali keputusannya untuk memusnahkan kaumnya dari kerajaan Ahasyweros. Atas permohonan ratu Ester tersebut raja Ahasyweros menanyakan kepada ratu Ester, siapakah sebenarnya yang menjadi otak dari  muslihat tersebut. Dengan berani Ester mengatakan bahwa Hamanlah yang merancangnya (pasal 7 ayat 6). Mendengar perihal tersebut, takutlah Haman sehingga ia menghadap sang ratu, berlutut pada katil tempat ratu Ester berbaring. Haman memohon kepada ratu Ester agar ia dimaaafkan. Ketika raja kembali dari taman istana, ia melihat pemandangan tersebut tidak pantas dilakukan oleh seorang pejabat istana terhadap sang ratu (ayat 8). Maka raja menitahkan agar Haman dihukum mati.
Haman kena batunya. Sehari sebelumnya dia telah mendampingi seorang Yahudi mengadakan pawai kemenangan di sepanjang jalan-jalan kota itu, sekarang ia mengemis kepada seorang perempuan Yahudi untuk menyelamatkan nyawanya! Para sida-sida tampaknya telah melaporkan sejumlah kejahatan yang dilakukan oleh Haman agar sesuai dengan amarah raja kepadanya, dan mengakhiri laporan tersebut dengan menunjuk pada tiang setinggi tujuh puluh lima kaki yang ada di halaman rumah Haman yang kelihatan dengan jelas dari istana. Dengan mengikuti saran dari para penasihatnya, seperti biasa, raja memerintahkan untuk menggantung Haman di tiang yang telah dibangun sendiri olehnya.
Saudara/I, Perjuangan Mordekhai dan ratu Ester mempertahankan dan menjaga keutuhan kehidupan kaum Yahudi di kerajaan Ahasyweros tidaklah sia-sia, meskipun dalam sekian waktu lamanya Mordehkai dan ratu Ester harus merahasiakan identitas mereka. Namun tindakan tersebut adalah suatu perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa untuk keselamatan kaumnya.
Sikap yang rendah hati dan sikap hormat yang diwariskan Mordekhai kepada ratu Ester menjadikan ratu Ester gigih memperjuangkan keselamatan kaumnya dari niat jahat Haman. Ratu Ester tidak hanya memikirkan keselamatan dirinya bersama Mordekhai semata-mata, tetapi ia mau berkorban dan berjuang untuk seluruh lapisan masyarakat di kerajaan Ahasyweros.
Saudara/I, Firman Tuhan mengajarkan kepada kita supaya kita menabur yang baik, karena apa yang kita tabur pasti akan kita tuai (Galatia 6:7). Kalau kita menabur yang baik, kita pasti menuai yang baik pula. Demikian sebaliknya, kalau kita menabur yang tidak baik, pasti kita akan menuai yang tidak baik juga. Seseorang pernah berkata, “jangan lemparkan batu kepada orang lain, karena jika itu kembali kepadamu, pasti sangat menyakitkan. Lemparkan roti kepada orang lain dan jika itu kembali kepadamu pasti menyenangkan.”
Menabur dan menuai adalah dua hal yang saling terkait. Tidak saja dalam pertanian, tetapi juga dalam hidup sehari-hari. Ketika kita menanam benih padi yang baik, biasanya kita pun akan menuai padi yang baik. Ingatlah bahwa kehidupan kita seperti Bumerang, Apa yang kita lemparkan itu juga yang akan kembali. Haman menabur kejahatan, maka dia sendirilah yang menuai kejahatan itu. Kitapun diajarkan agar selalu menabur dan merancangkan kebaikan bagi orang lain, supaya hanya kebaikanlah yang kita terima.
Saudara/I, Kisah dalam bacaan kita ini juga menunjukkan bahwa kekuasaan seseorang bagaimanapun tingginya masih mempunyai batasan. Kekuasaan yang dimiliki oleh Haman terbendung oleh kekuasaan raja, sehingga dengan kejahatan yang telah dilakukannya itu, raja memerintahkan untuk menggantung Haman di tiang yang telah dibangunnya sendiri.

Karena itu, berita Firman Tuhan hari ini juga mengajak kita semua untuk bersedia merendahkan hati dalam situasi apapun supaya kita jangan “kena batunya” seperti Haman. Tidak ada hukuman yang terlewatkan oleh Tuhan untuk setiap perbuatan jahat yang dilakukan manusia baik dari jaman dahulu sampai dengan jaman sekarang. Setiap hari kejahatan manusia terus terjadi dan terungkapnya kasus karena Tuhan menghukum melalui proses yang tidak satu orang manusiapun yang mampu menyimpan kejahatan itu. Atau dengan perkataan lain sehebatnya menutupi kesalahan maka akan terungkap juga dan sanksi akan dihadapi oleh yang bersangkutan. Mari kita selalu berbuat baik dan benar di dalam Tuhan. Salam damai. Amin.

Minggu, 01 Mei 2016

Aku, Kau, Kita, Kasih (Refleksi Kasih)

Aku adalah pribadiku sendiri yang berkuasa atas diriku, yang membuat aku selalu sama dengan diriku sendiri dan berbeda dari aku-aku yang lain. Aku tidak bisa hidup sendiri tanpa aku-aku yang lain. Aku-ku dan aku yang lain (kau) ketika bersatu, maka akan berada di dalam kita. Ketika aku-ku dan aku-aku yang lain bersatu dalam kebersesamaan, maka terciptalah kasih. Kasih - tidak mengasihi tidak bisa hadir tanpa media. Untuk itu diperlukan Aku-ku dan aku yang lain untuk menjadi media terbentuknya kasih. Kita hidup di dunia ini selalu berproses untuk menjadi semakin aku. Aku tidak dapat menjadi semakin aku tanpa kau, dan kau tidak dapat menjadi semakin kau tanpa aku. Karena itu aku-ku dan aku-mu tidak dapat hidup sendiri, tetapi kita saling membutuhkan. Aku-ku dan kau dikatakan mengasihi ketika aku-ku dan aku-mu bisa membuat aku menjadi semakin aku dan kau menjadi semakin kau dengan saling menutupi kekurangan yang ada pada aku-ku dan aku-mu. Adanya aku pada kau juga mempengaruhi aku-ku. Contohnya, ketika aku mengasihi kau, maka secara tidak langsung aku sudah mengasihi aku-ku. Ketika aku membenci engkau, maka secara tidak langsung aku mebenci aku-ku sendiri, karena aku sadar ada aku juga di dalammu. Ketika aku dan kau menyadari adanya aku pada diriku dan aku pada dirimu, kita tidak akan saling menyakiti satu sama lain, tidak akan menganggap rendah satu sama lain. Itulah mengasihi.

Kasih bisa mencul ketika aku dan kau bersatu, karena kasih bukan hanya mencakup kebersamaan namun lebih dalam dari itu yaitu kebersesamaan yang artinya sama-sama atau turut merasakan setiap hal yang terjadi. Kasih bersumber dari Allah, untuk itu kita harus saling mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Kasih harus dibagikan kepada sesama kita. Seperti digambarkan sebuah obor yang menyalakan ribuan obor tanpa kekurangan terangnya. Demikian halnya dengan kasih kita tidak akan berkurang bila kita bagikan kepada sesama. Untuk itu kita harus membagikan kasih tersebut, jangan menahan kasih itu kepada orang lain; maka kita semua akan hidup bahagia karena memiliki kasih.

CORAK TEOLOGIS YANG MENDOMINASI PADA ABAD PERTENGAHAN


Pada zaman Gereja Lama orang – orang Yunani dan Romawi yang telah masuk Kristen, menggunakan pengetahuan dan filsafatnya untuk mengungkapkan iman mereka terhadap segala serangan dari pihak lain atau pihak kafir dan untuk melawan segala pandangan – pandangan yang dianggap menyesatkan. Oleh karena itu teologi – teologi zaman dahulu itu tumbuh dari jemaat sendiri serta mendapat perumusannya di dalam keputusan – keputusan pada konsili – konsili besar, seperti konsili di Nicea dan Chalcedon. Hal inilah yang berpengaruh sampai pada teologi – teologi di Abad Pertengahan. Teologi dan ajaran – ajaran pada Abad Pertengahan kebanyakan merupakan hasil sinkritisme dari beberapa pemikiran. Diantaranya adalah (a) campuran antara ajaran Alkitab dengan Filsafat Yunani, dan (b) campuran antara kesalehan yang bersifat alkitabiah dengan agama kafir.
Berbeda dengan zaman Gereja Lama yang sangat tertutup, pada Abad Pertengahan bangsa – bangsa di Eropa Barat dan Utara membuka diri terhadap ajaran – ajaran dari luar, terlebih ajaran dari zaman Gereja Lama. Penduduk Eropa Barat mulai memperhatikan kembali karangan karangan filsafat Yunani, terutama yang dari Plato dan Aristoteles, yang mengandung pemikiran – pemikiran yang berlainan dengan ajaran gereja. Lama – kelamaan kaum terpelajar mulai menuntut ilmu teologi juga. Hal ini terjadi di sekolah – sekolah tinggi, yang timbul kira – kira pada tahun 1000, dan sekolah – sekolah ini kurang berhubungan dengan jemaat biasa. Mereka dari kaum terpelajar inilah yang bercita – cita untuk menyelaraskan ajaran gereja itu dengan filsafat Yunani. Aliran teologi inilah yang disebut “teologi scholastik”.
Ilmu scholastik tidak berniat menciptakan pasal – pasal kepercayaan yang baru, namun maksudnya tidak lain daripada memikirkan kembali isi teologi yang diwarisinya dari waktu dahulu. Ahli – ahli scholastik berkeyakinan bahwa segala ajaran Gereja itu bukan saja harus dipercaya, tetapi dapat dimengerti juga oleh manusia. Sebab itu mereka berusaha untuk membuktikan bahwa segala sesuatu yang telah dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi manusia. Dengan demikian soal yang terutama yang dipikirkan dan dirundingkan oleh scholastik adalah: bagaimanakah relasi antara penyataan (wahyu) Tuhan dengan akal budi manusia? Karena itu, untuk mengerti penyataan Tuhan dipakainya teologi Augustinus, dan untuk melatihnya dalam hal berpikir menurut ilmu filsafat dipergunakannya pemikiran dari Aristoteles, ahli filsafat Yunani yang mashyur itu.
Beberapa tokoh terkenal dalam teologi scholastik adalah:
1.      Anselmus (1033-1109), seorang Italia yang menjadi uskup besar di Cantebury (Inggris). Semboyannya adalah: aku percaya supaya aku mengerti. Ia mulai percaya kepada segala penyataan Tuhan yang diajarkan oleh Gereja, tetapi sesudah itu ia berusaha untuk menjelaskan segala pasal kepercayaan itu, sehingga diakui selaku kebenaran oleh otak manusia.
2.      Petrus Abelardus (1079-1142). Pada pendapatnya, persesuaian iman dan akal budi adalah lebih sukar untuk mewujudkannya. Semboyannya ialah: lebih dahulu aku harus mengerti, barulah aku percaya. Tujuannya disini adalah supaya akal budi dipuaskan dan iman mendapat dasar yang teguh.
3.      Thomas dari Aquino (1225-1274), seorang rahib anggota ordo Dominikan. Ia berhasil menampung asas – asas filsafat dalam teologi yang menyeluruh. Teologi Thomaslah yang paling digemari. Menurut Thomas, dunia ini dan kehidupan manusia terbagi atas dua tingkat. Tingkat yang di bawah dibentuk oleh hidup kodrati (hidup alamiah) yang dapat dipahami dengan akal budi. Hidup biasa ini menuju kepada persekutuan dengan Allah, sehingga belum sempurna selama persekutuan itu. Sebab itu hidup kodrati perlu ditambah dan digenapi oleh suatu tingkat atas, yaitu hidup adikodrati (hidup rahmat) yang lebih tinggi yang datang dari Tuhan. Karena itu teologinya memuaskan para cendekiawan zaman itu. Thomas bukanlah seorang teolog yang hanya tahu menulis karya – karya teologi yang terpelajar; ia juga adalah seorang penyair yang menyusun syair – syair indah yang dinyanyikan dalam perayaan Misa. Namun demikian, dalam teologinya ia berbicara tentang Allah dengan cara filsafat Plato dan Aristoteles. Menurut pandangan Thomas, manusia sudah dirusak oleh dosa sehingga ia tidak dapat berbuat sesuatu apapun yang berkenan kepada Allah dan hanya dapat diselamatkan oleh rahmat Allah saja.
Akan tetapi keadaan dunia ini dan wujud hidup manusia itu tidaklah dapat dijelaskan semudah itu. Dan oleh karena dasar teologi yang indah ini tidak lain daripada filsafat kafir maka anugerah (kasih-karunia) tidak dapat dihargai dengan semestinya. Alkitab tidak mengajarkan adanya dua tingkat, karena dosa bukanlah suatu kekurangan saja, tetapi kerusakan tabiat manusia dan ciptaan Allah sama sekali. Hidup kodrati manusia tidak mempunyai sesuatu apapun, yang boleh dipakai oleh Tuhan sebagai dasar bagi pekerjaan rahmat-Nya. Rahmat itu bukan tambahan saja kepada tabiat kodrati, melainkan penyataan kasih Tuhan, yang dengannya manusia dan dunia yang tak dapat tidak harus mati dan binasa untuk selama – lamanya, diselamatkan dan dibaharui pula dan diperdamaikan dengan Allah. Lagipula kesembuhan semesta alam bukan didatangkan dengan berangsur – angsur pada zaman ini dengan perantaraan Gereja, melainkan hal itu dijanjikan kepada Gereja selaku suatu mujizat dari Tuhan yang akan berlaku pada akhirat. Iman Kristen pun jauh lebih indah dari pengakuan akal budi saja. Maka Tampaklah bahwa Injil sekali – kali tidak menunjukkan suatu persekutuan mulia antara penyataan Allah dengan akal budi manusia, seperti yang disangka oleh Thomas.






TOKOH REFORMATOR YANG MEMBAWA PERUBAHAN
Hal yang menyebabkan timbulnya pembaharuan gereja ialah perbedaan antara teologi serta praktik gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Peristiwa yang membuat Reformasi itu mulai adalah penjualan surat-surat penghapusan siksa di Jerman oleh Tetzel. Menentang ucapan-ucapan Tetzel, Luther menyusun ke-95 dalilnya.
Apa yang telah ditemukan oleh seorang guru teologi jauh di daerah, merupakan bahan peledak yang nanti akan meruntuhkan susunan gereja. Tetapi pemimpin-pemimpin gereja di pusat tidak menyadari bahaya yang mengancam. Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk merencanakan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang harus melambangkan keagungan Gereja Barat. Untuk mengumpulkan dana bagi proyek itu, mereka memaklumkan penghapusan siksa bagi orang-orang yang akan memberi sumbangan. Di Jerman, surat-surat penghapusan siksa itu diperdagangkan oleh Tetzel. Dan perdagangan itulah yang menjadi pendorong dimulainya Reformasi.
Meskipun Tetzel seorang anggota Ordo Dominikan, namun ia tidak begitu mengindahkan rumusan-rumusan teologi yang halus. Ajaran resmi mengenai penghapusan siksa itu menentukan bahwa penghapusaan itu hanya berlaku, kalau orang sungguh-sungguh menyesali dosanya dan kalau dosa itu telah diampuni melalui sakramen pengakuan dosa. Namun, Tetzel berusaha meningkatkan penjualan barangnya dengan mengatakan bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu menghapuskan dosa juga dan memperdamaikan orang dengan Allah. Demikianlah orang mendapat kesan bahwa pengampunan dosa dan pendamaian dengan Allah bisa diperoleh dengan uang, di luar penyesalan hati dan di luar sakramen-sakramen juga.
Luther, sebagai seorang imam juga harus menerima pengakuan dosa dari pihak anggota-anggota jemaat. Karena pengalamannya sendiri, maka ia sangat bersungguh-sungguh dalam hal ini. Kini ia didatangi oleh orang-orang yang menganggap sepi ajakan yang diberikannya sesudah pengakuan, agar mereka betul-betul menyesal dan menunjukkan penyesalan mereka dengan perbuatannya. Mereka memperlihatkan kepadanya surat penghapusan siksa sambil berkata: dosa kami sudah diampuni. Luther kaget. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menjadikan hal ini sebagai pokok pembicaraan antara sarjana-sarjana teologi. Begitulah ia menyusun 95 dalil mengenai penghapusan siksa, dalam bahasa Latin, bahasa kaum cendekiawan. Pada tanggal 31 Oktober 1517, ia memperkenalkan dalil-dalil itu dengan menempelkannya di pintu gereja di Wittenberg (bacaan 1).
  1. Dalil-dalil Luther menyangkut perkara yang sudah menghebohkan masyarakat Jerman, meskipun biasanya dengan alasan lain (harta Jerman yang mengalir ke luar negeri). Dari sebab itu, tulisan tersebut dibaca dengan asyik oleh orang banyak. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja di Roma menuding Luther sebagai seorang penyesat.
Dalam dalil-dalilnya itu, Luther menentang perkataan-perkataan Tetzel. Bahkan, ia menegaskan pula bahwa penyesalan sejati bukanlah sesuatu hal yang dapat diselesaikan orang dengan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan oleh iman setelah pengakuan dosa, misalnya dengan mengucapkan Doa Bapa Kami sekian kali. Penyesalan itu berlangsung selama hidup! Itulah makna dalil yang pertama, yang berbunyi: "Apabila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata: Bertobatlah, dan seterusnya, yang dimaksudkanNya ialah bahwa seluruh kehidupan orang percaya haruslah merupakan pertobatan (=penyesalan)." Siapa yang betul-betul mengasihi Allah, tidak akan berusaha secara egoistis menebus hukuman atas dosanya, apalagi dengan uang; yang penting baginya ialah agar Allah mengampuni kesalahannya. Luther belum menyangkal adanya api penyucian, sama seperti ia belum menyangkal kekuasaan sri paus dan banyak hal lain yang di kemudian hari ditolaknya. Maksudnya, hanyalah untuk melawan pendapat seakan-akan surat-surat penghapusan siksa itu dapat memberi keselamatan, seperti yang didengung-dengungkan oleh para penjajanya untuk menipu rakyat biasa. Namun, sebenarnya Luther telah merombak seluruh ajaran Gereja Abad Pertengahan, bila ia mengatakan, "Bukan sakramen, melainkan imanlah yang menyelamatkan."
Dalil-dalil diterjemahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya ke dalam bahasa Jerman, dan dalam waktu empat minggu saja sudah tersiar ke seluruh Jerman. Umat Kristen, yang sudah lama tidak senang lagi mengenai keadaan gereja, kini mendengar suara yang menyatakan keberatannya dan yang sekaligus menunjukkan jalan lain.







Daftar Pustaka
1.      Van Den End Thomas, Harta Dalam Bejana, BPK, 1990.

2.      Dr. Berkhof H & Dr. Enklaar I. H, Sejarah Gereja, BPK, 1987.